Selasa, 30 Juni 2015

Cerita PTT : Kwarja dan Kebersamaan Kami Bersama



Cerita PTT : Kwarja dan Kebersamaan Kami Bersama

“karena kehangatan tak harus berbicara tentang dibalik selimut, cukup dengan berbagi waktu bersama di setiap waktu yang ada, maka kehangatan itu menjadi lebih dari sekedar berbicara tentang di balik selimut ”
–dee,2015


Lebih dari 3 jam berkendara menembus belantara hutan Taja untuk bisa menyentuh kampung Kwarja, kampung terpencil di distrik kami. masyarakat Kwarja bisa dikatakan makin terisolir oleh waktu. Kemajuan pembangunan tak serta merta membawa kemajuan bagi masyarakat Kwarja. perpecahan di kalangan atas (antar ondoafi dan kepala kampung), membuat masyarakat semakin terpecah. Meski tanpa ada peperangan seperti di banyak tempat di pedalaman papua, perpecahan tersebut tak berdampak baik bagi masyarakat Kwarja sendiri. Sebagian masyarakat yang memilih untuk keluar kampung dan mendekati modernitas ‘kota’ Taja, terseok oleh tekanan dan tuntutan hidup yang meningkat. Sebagian yang lain, memilih untuk hidup jauh di dalam hutan, meninggalkan kampung, mengikuti ‘bapak mantan’ yang sudah dianggap ‘ondoafi’ bagi mereka. kata mereka,”kampung su trada apa-apa. Tong makan susah di kampung, lebih baik di hutan ikut bapa mantan, tong cari makan mudah, berburu juga mudah”. Keputusan yang membuat sebagian dari mereka ini semakin terisolir, dan semakin tak terjangkau.
Pelayanan mobile clinic yang kami lakukan, merupakan agenda rutin bulanan (meski tidak setiap bulan) puskesmas untuk menjangkau masyarakat yang memang sangat jarang tersentuh oleh petugas kesehatan. Semakin berkurangnya mobilitas masyarakat kwarja keluar kampung, membuat akses jalan menjadi semakin tertutup. Jika setahun yang lalu saat musim hujan kami jatuh bangun dari motor lantaran medan yang sangat becek, berlumpur, kini jalanan semakin tak nampak seperti jalan oleh karena dipenuhi oleh ilalang dan pepohonan yang lebat, ditambah banyaknya jembatan-jembatan yang sudah roboh, tergerus oleh aliran2 sungai yang ada dibawahnya. Perjalanan ke kwarja yang seharusnya singkat, menjadi lama lantaran sering kali harus terhenti membuka jalan, membersihkan ilalang, atau baku dorong dan baku angkat motor di jembatan jembatan yang nyaris ambrol dan sulit untuk ditempuh.

harus turun dari motor sambil dorong untuk bisa nyebrang jembatan yg seadanya

memastikan bahwa posisi ban motor adalah tepat di lajur
Tapi gak ada perjalanan sia sia. Setelah melalui perjalanan panjang yang melelahkan, dengan terik matahari yang bersinar, kami tiba di kampung kwarja. daaan, kampung jauh jauh lebih sepi disbanding waktu setahun yang lalu. Hanya ada kurang lebih 4 kk, dengan kurang lebih 10 orang mama-mama dan anak-anak., yap, didominasi mama-mama lantaran banyak bapak2 memilih tingga di hutan. Berburu dan mencari makan. Banyak rumah-rumah kosong dengan halaman yang dipenuhi oleh ilalang-ilalang tinggi. Pustu (puskesmas pembantu) kami pun nyaris tak nampak dari jalan lantaran rumput-rumput yang tumbuh tinggi melebihi tingginya pohon pisang yang ada. Sungguh, semuanya nampak tak terawat.



Sejenak beristirahat dan menyantap makan siang, kami membersihkan seluruh area pustu. Mengecek kondisi2 ruangan dan segala stok obat yang ada. rumah kosong lama, jadi wajar butuh waktu yang cukup lama untuk membersihkan rumah papan dengan luas sekitar 10 x 5  meter ini. drum penampung air pun kosong lantaran bagian sambungan air yang putus (entah karena apa). Sore itu, sebelum matahari terbenam kami pun memutuskan untuk mandi di sungai dekat pustu sekaligus mengambil air untuk persediaan air kami hingga esok siang.  Senja yang indah di kampung kwarja….
terpaksa cungkil jendela pustu lantaran kunci pustu yg hilang. jendela = pintu alternatif
makan siang dengan bekal nasi bungkus

ambil air di sungai
tidur bareng di ruang tengah. gak ada yg berani tidur sendiri. baku tumpuk, baku tumpuk dah
Keesokan harinya kami barulah melakukan pelayanan kesehatan setelah sebelumnya 'kasih suara' ke masyarakat bahwa kami tiba di Kwarja. sekitar pukul 09.00 siang satu persatu masyarakat kwarja datang. meskipun tak sakit, mereka selalu datang ke pustu kami ketika kami datang. yah, kalopun gak berobat, paling tidak ada makanan, rokok, ataupun kopi yang bisa dibagi. Itulah masyarakat di sini. dulu, di awal kedatangan petugas kesehatan, selain membawa obat-obatan, kami selalu membawa ‘bahan kontak’ bahan untuk kontak dengan masyarakat.  biasanya yang kami bawa adalah sabun cuci, sabun mandi, dan rokok kupu (merek rokok linting di sini, favoritnya orang kwarja, gak laki, gak perempuan). Lucu kan, petugas kesehatan tapi bahan kontak yang dibawa adalah rokok. Tapi, begitulah disini. Dulu, hal tersebut adalah yang dipakai agar masyarakat mau datang ke pustu. Sekarang, jadi kebiasaan. Dan setiap pelayanan kami pasti membudgetkan dana untuk membeli bahan kontak, yang secara perlahan diubah bahan kontaknya, selain sabun mandi dan sabun cuci, kami membawa kopi, dan snack untuk anak-anak. itulah makanya mereka selalu akan mendatangi ketika kami datang. beruntung kali itu tak ada masyarakat yang sakit keras. Alhamdulillah sehat semua. Hanya satu dua anak yang batuk pilek (dengan ‘ingus sebelas’ nya^^) dan seorang mama yang kena osteoarthritis. anak-anak balita pun kami kumpulkan, kami data pertumbuhannya dan kemudian kami bagikan biscuit MP-ASI yang memang sudah kami persiapkan sebelumnya. Vitamin A pun dibagikan sesuai dg dosis anjuran.
Bidan henny bidan SP V yang ikut dengan kami, bertugas mendata ibu hamil yang ada. Hanya ada dua ibu hamil. Seorang di kampung tua (dan sedang hamil tua, dan sangat tak mungkin untuk kami kunjungi kesana –jauuh) dan seorang yang saat itu ada sedang hamil 5 bulan dan dalam kondisi yang baik. Bidan henny menyarankan untuk berpindah ke kampung jembatan dua (masuk wilayah kampung SP V) agar persalinannya bisa dibantu olehnya. Di kwarja, masyarakat masih membiarkan ibu-ibu hamil mereka untuk lahir di hutan. Jika si ibu sudah mulai merasa kontraksi di perut, maka dia akan pergi ke hutan, sendirian, disebuah gubuk (yang bahkan hanya berupa para-para beratap daun sagu kering) hingga bayinya lahir, baru kemudian kembali ke kampung. Inilah yang menyebabkan angka kelahiran bayi tanpa bantuan nakes di kwarja masih tinggi, selain gak ada petugas kesehatan, kesadaran masyarakatnya pun masih kurang. maunya si ada nakes di kwarja, tapi dengan sarana prasana yang minim, keamanan yang belum tentu terjamin, akses apapun yang susah, dan masyarakat yang jumlahnya pun sangat sedikit, agak berat juga mo menempatkan petugas di sini. siapa yang mau di sini, di tengah hutan, tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa air!, pengabdian si pengabdian, tapi kalo harus dengan nyawa sebagai taruhannya, enggak deh, nanti dulu.  Itu pulalah yang membuat kami sepakat untuk sering-sering datang melakukan pelayanan, meski hanya sehari dua hari, kami berusaha untuk tetap men’cover’ masyarakat kami ^^
Tak lama melakukan pelayanan kesehatan, kami berkumpul di teras  pustu. Sekedar duduk-duduk, berbagi cerita, dan berbagi informasi. Seikat besar buah pinang dari seorang masyarakat membuat acara duduk duduk ini menjadi semakin mengasyikkan. Kopi, pinang, dan percakapan omong kosong adalah  slogan hidup di sini. dan semuanya pun asik mengunyah buah pinangnya masing-masing dengan obrolan tawa sana sini. siro, paman yos, pak hendra, kak Wilson. Semuanya pun ikutan ngunyah pinang. “hmmm, pengen coba… boleeh??” Tanya gw duduk mengamati buah pinang yang nampak menggoda selera. “jiiz., dokter, tra usah coba sudah. Dulu coba muntah truz mabok begitu moo.. tra usah sudah” kak Wilson yang pernah ngliat gw mabok pinang melarang keras gw. tapi hijaunya buah pinang terasa sungguh menggoda. Masak si gw gak bisa makan pinang? Udah setahun lebih, papeda, sagu bakar, bahkan ulat sagu aja lewat. Cuman buah merah ama pinang aja yang belum bisa masuk dimulut. Dulu coba buah merah muntah2, pinang pun demikian, sampai pusing-pusing dan bicara meracau kayak orang gila. Tapi, gw rasa, bisa gw makan pinang. “ iyo dokter, harus coba to.. tra papa, mungkin dulu pinangnya jelek, ini pinang masih segar. Coba duluuu…” kata masyarakat yang diamini pak hendra dan paman yos. Paman yos pun menyodorkan sebuah pinang padaku. Diajarilah cara kupas buah pinang, dikasih pecah,baru kunyah-kunyah, beberapa orang biji pinang ada yang dibuang, ada pula yang ikut dikunyah. Mulut gw pun langsung bergumul dg pinang dimulut, moncong2 penuh dengan pinang dan ludah.”whoni bwagwenmwana mwakwannya..”kata gw dg mulut penuh, dan muka kecut, aneh rasanya. “jiz, dokter buang ludah dulu, baru kunyah lagi” kata siro ngliat gw yang kayak kesusahan.”cuuih…”gw buang ludah, “lah, koq gak merah??” gw bingung. “lah, kan belum pake kapur. Nii… pake kapurnya” kak Wilson nyodorin sirih dan kapur. Gw pun mengikuti intruksi2 mereka, cocol sirih pada kapur, truz memasukkannya ke dalam mulut, digigit dikit tapi jangan sampe kena lidah karena rasanya akan panas nantinya. Gw kunyah, kunyah, dengan muka masam lantara rasanya aneh, sedikit, sedikit, kemudian seorang bocah berteriak,”dokter pu mulut merah!!” ha, iya, merah? Gw coba buang ludah, dan tradaa, merah betull. Wuooh, keren, keren. Gw pun berusaha melanjutkan kunyah pinang, berusaha menikmatinya, hingga tiba-tiba, hoeeek.... muntah semua isi perutku. Orang orang panic, mantra gw nyariin gw minum, tapi gwnya malah ketawa lepas. Ternyata emang belum bisa jadi orang papua. “sudah, sudah, tra usah coba lagi. dokter su dikasih tau baru. Nanti mabok di jalan tong yang susah..”kak Wilson ngomel2. Gw cuman cengengesan, ya elah, cuman muntah karena pinang moo…
fam nisab, masyarakat asli kwarja
Siang itu, kami habiskan waktu untuk bersenda gurau hingga panas terik siang terasa semakin menyengat mengajak kita untuk bergegas keluar hutan. “mumpung panas, daripada tong jadi makin malas, ayo sudah jalann” kata kak Wilson. Kamipun berberes, menyisihkan bama yang tersisa untuk mama-mama dan kemudian berpamitan.
Hari yang singkat, tapi sekali lagi, tersisa satu kesan dalam hari dimana kami bisa berbagi cerita dan tawa bersama. (oct 2014)
halaman depan pustu kwarja

ketika meninggalkan pustu

istirahat dalam perjalanan pulang di sebuah gubug di jembatan dua
beradu dalam ketukan yg tak beraturan *dalam perjalanan pulang






Tidak ada komentar: