Selasa, 30 Juni 2015

Cerita PTT : masih sekedar Bercuap



Cerita PTT : masih sekedar Bercuap

KDRT
Minggu pagi di rudin puskesmas. Baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah ketika seorang nona datang ke rumah. “dokter bisa tolong sa pu mama kah… ?? darah tra mau berhenti dari dong pu kepala”kata nona itu. Gw kenal nona ini. nona wamena yang sering antar ‘dong pu masyarakat’ buat berobat sambil jadi ‘translator’ beberapa mama-mama yang masih sulit berbahasa Indonesia. Kali ini,dirinya datang membawa seorang mama yang ternyata mama nya sendiri. darah terlihat membasahi kaos yang menutupi kepalanya. Ketika gw buka kain penutup, darah bercucuran keluar dari luka yang cukup lebar.
mama kena apa kah??” Tanya gw sambil bersihin dong pu luka. “pace pukul tadi pagi..”. jawabnya datar. huff, KDRT.,” kenapa mama bisa sampe dapat pukul kah? Mama bikin salah??’’ Tanya gw lagi. dan mama pun menjelaskan panjang lebar bercampur dengan dong pu bahasa yang membuat gw jadi setengah tak paham. Gw hanya mengangguk. Apappun kesalahan yang mama buat, gw rasa, seharusnya tidak ada itu istilah kekerasan hingga berdarah-darah sedemikian rupa. Kekerasan yang membuat luka yang bahkan butuh waktu nyaris satu jam untuk menjahitnya.. *huff.
Sekali lagi. kekerasan rumah tangga. Dari luka lebam, luka robek, hingga patah tulang. Bukan cuman kali pertama gw harus jahit kepala mama-mama yang robek dipukul ‘dong pu pace , ‘dong pu paitua’ (baca :suami mereka). kekerasan rumah tangga, sekali lagi, dan lagi, dan tak pernah berhenti. teringat kata seorang kawan, seorang mama papua, bercerita suatu ketika, “ begini sudah, orang papua. kitong ni mama-mama yang jadi tulang punggung. Dorang (lakilaki) tu tra tau kerja. Kitong ni yang setiap hari berkebun, cari uang, di rumah harus urus anak suami, bikin makan, bersih-bersih. Dorang tu hanya tau duduk, makan pinang, merokok sama bicara omong kosong saja. kalo tong su bikin salah sedikit, tong yang dapat pukul”. Dan waktu kutanya, “kenapa tidak melawan kah??’. Dan jawabannya rata-rata ‘tidak berani ya..”. Perempuan, di kelompok masyarakat tertentu masi dianggap berada di bawah laki-laki. Manusia no.2. laki-laki yang tidak sempurna. didiskriminasi dan diinjak-injak.
Mama hanya nampak terdiam. Tidak nampak mengeluh. Tidak nampak menangis. Padahal luka di kepalanya cukup dalam. Mungkin kalo kejadian itu terjadi ke gw, ato perempuan lain, mungkin udah menangis darah. menangis menangis, atau paling tidak marah-marah, ato balas pukul (itu kalo gw kali yeee..). apapun itu, pasti bakal diluapin dg emosi. That’s why, they called woman. Tapi mama hanya terdiam. Diam. Hanya sesekali mengeluh pusing karena perdarahan yang ditimbulkan dari luka sulit dikendalikan. luka yang sungguh dalam. Meski luka di kepala  bisa terobati dengan jahitan ataupun obat-obatan, ‘luka’ yang ditimbulkan, trauma yang ditimbulkan oleh karena kekerasan yang dilakukan oleh orang yang dipercayaikan, oleh orang yang (mungkin) dicintainya, oleh suaminya, tak akan mudah untuk terobati. Meski mama hanya terdiam, dalam pancaran matanya yang redup, terlihat derita yang dipendamnya, rasa sakit yang tak diungkapkannya.
Laki-laki, kuharap mereka mengerti. Menyakiti wanita, bukanlah satu hal bisa dibanggakan. Tak ada kekerasan, tak ada lagi kata menyakiti. dimana pun itu, siapapun itu.  Even the toughest woman, they are still a woman.  (010315 15.50)

Tidak ada komentar: