Cerita PTT : Kwarja – Ayam yang Kehilangan Induknya
Minggu,
21 Februari 2014
Kembali bertugas untuk melakukan
pelayanan kesehatan di kampung Kwarja. Dan Meski kami sudah tidak ada ikatan kontrak dari dinkes kabupaten
sebagai ‘tim flying care’ di kampung kwarja, kami tetap melakukan pelayanan di
kampung tersebut sebagai bentuk pelayanan puskesmas Taja yang mem’cover’
seluruh wilayah distrik Yapsi, termasuk di dalamnya kampung Kwarja. Butuh waktu
sekitar 2 ½ - 3 jam untuk mencapai lokasi yang kami tuju, lebih singkat
disbanding waktu pertama kali kami masuk ke kampung ini, 6 jam perjalanan.
Kwarja yang terletak di bagian timur laut distrik Yapsi merupakan salah satu
kampung penduduk asli papua yang ada di distrik Yapsi, selain kampung Tabeyan,
kampung Bundru, dan kampung Rifi. Masyarakat kwarja mempunyai bahasa suku
sendiri, bahasa Kwarja yang hanya dimengerti ya oleh orang kwarja. Kata
salamnya kwarja adalah,”amsan..”..
Cerita kisah tentang kwarja dimulai
seperti ini. Pada jaman dahulu, masyarakat kwarja, sama seperti masyarakat papua
pada umumnya hidup dari berburu dan meramu. Mulanya masyarakat Kwarja tinggal
di ‘Kampung Tua’ sekitar 11 km dari kampung kwarja yang ada sekarang. Disana,
mereka biasa hidup dengan berburu rusa dan hewan-hewan hutan lainnya, dan
memakan makanan yang ada di hutan, betatas, buah2 hutan, d an sagu. Kampung tua
sebenarnya bukan benar-benar kampung, hanya beberapa kelompok orang yang tinggal
bersama di dalam hutan dengan menjadikan kayu-kayu yang disusun dan diberi atap
jerami tanpa dinding sebagai tempat berteduh dan beristirahat. Waktu gw Tanya ke paman,”jadi, mereka dihutan
cuman pake gituan paman?” kata paman,”iyah…kalo hujan, angin, ya basah, malam,
ya gelap2, gak ada cahaya, dimana-mana hutan. Tapi ya buktinya mereka hidup
hidup aja”. Kata paman bercerita sambil asik menghisap rokok anggur kupunya.
Sejak akhir tahun 1990an, misionaris masuk di
kampung kwarja, mengenalkan mereka tentang agama, mengajarkan tentang bahasa,
dan mengajarkan mereka tentang baca-tulis. Seorang misionaris dari jerman
dengan seorang anak dan seorang istri pernah tinggal di kampung kwarja bersama
masyarakat di sana.setelah itu, seorang misionaris dari timur (orang nusa
tenggara, bapak Benny) tinggal dan mengajar di kampung ini selama kurang lebih
3 tahun. Sekitar tahun 2005an, untuk mengakses kampung Kwarja bukanlah perkara
yang mudah. Kata paman Padwa,”sa salut dengan Bapa Benny. Dorang sebulan
sekali, jalan kaki dari SP1 sampe Kwarja. Bayangkan, berangkat dari sebelum
matahari terbenam dan tiba di kwarja tengah malam. Berjalan kaki sendirian,
sambil menggotong persediaan makanan secukupnya untuk sebulan. Beras satu
karung pun dorang panggul sendiri. di Kwarja, sambil mengajarkan agama, beliau
ajarkan juga anak-anak cara membaca, mengenal angka dan huruf. Sesekali beliau
bagi berasnya, mengajarkan anak kampung makan nasi. Jika persediaan beras
beliau menipis, beliau keluar SP belanja lagi, kemudian masuk ke Kwarja
kembali.” Cerita paman Padwa yang mengenal bapak Benny ketika
dirinya pertama kali ditugaskan di kampung Kwarja. Dari sinilah masyarakat
kwarja mulai terbuka dengan perabadaban. Pemerintah masuk membangunkan
perkampungan Kwarja, membangunkan mereka rumah papan, mengajarkan tentang
bercocok tanam. Masyarakat yang banyak tinggal di Kampung Tua mulai berpindah
ke rumah permanen di perkampungan Kwarja. Mereka belajar tentang cara
bermasyarakat, dan menata pemerintahan kampung secara sederhana.
Fasilitas-fasilitas dibangun, seperti balai desa, tempat pelayanan kesehatan
(pustu), dan rumah bujang (khusus untuk lelaki-lelaki bujang memang tidak boleh
tinggal di kampung, mereka tinggal di rumah bujang, diajarkan cara berburu,
pengobatan tradisional, cara berperang, dan banyak hal tentang adat.), Bahkan
sekitar 2 tahun yang lalu listrik tenaga
diesel sudah masuk(tapi lebih banyak padam nya), panel tenaga surya terpasang
di setiap rumah (tapi banyak yang hilang, rusak, tak terpakai, atau dijual),
dan drum drum penampung air dibagi di setiap kepala keluarga. Selama beberapa
tahun, masyarakat Kwarja hidup dengan sejahtera dan damai, dibawah pimpinan
bapa kepala kampung Kwarja (yang sekarang kami menyebutnya sebagai ‘bapak
mantan’). Kesejahteraan masyarakat semakin baik ketika ‘perusahaan kayu’ masuk
ke kampung kwarja (boleh dibilang perusahaan penebangan kayu illegal). Jalan
menuju kampung kwarja terus diperbaiki
untuk mempermudah keluar masuknya truk truk pengangkut kayu, masyarakat
mempunyai pendapatan sebagai pekerja kayu dan mendapat ‘uang adat’ dari hutan yang ditebang. Kayu kayu hutan terus
ditebang dan masyarakat semakin sejahtera. Entah itu hal baik atau bukan, yang
pasti ketika kayu sudah habis, dan perusahaan kayu meninggalkan kwarja,
masyarakat ya kkembali ke keadaan semula, perlahan, ketika tidak ada makanan
masyarakat kembali ke kampung tua karena di kampung tua, mereka lebih mudah
mendapatkan makanannya. Keadaan ini semakin diperparah ketika bapak ‘mantan’
menderita ‘sakit’ yang membuatnya jadi ‘setengah gila’, kata orang orang sih
‘dibikin orang’ tapi entahlah. Pada intinya bapak ‘mantan’ yang menjadi tetua,
ondoafi, dan seorang panutan bagi masyarakatnya turun jabatan dari kepala
kampung yang sudah dipegangnya bertahun-tahun dan kemudian digantikan oleh Kepala
kampung yang baru sekarang Sulaiman Kause. Sulaiman Klause sendiri sebenarnya
putra asli kwarja. Namun sejak awal kepemimpinannya banyak yang mengeluh
kampung kwarja tidak menjadi lebih baik. Kepala kampung lebih sering berada di
kota disbanding berada di kampung kwarja. Uang dana pengembangan kampung pun
dipertanyakan keberadaannya. Cerita paman lagi,” kepala kampung yang sekarang
tu hobinya keluar masuk kafe di kota, ngabisin duit buat minum minum. Kaget
mungkin tiba-tiba pegang uang gede”.
Masyarakat pun semakin bingung. Mau bertahan di kampung kwarja, tapi di
sana makan sulit, jauh dari sagu, berburu pun susah karena hutan
berkurang. kata seorang mama bercerita
waktu kami melakukan pelayanan di sana,”kampung
su trada orang, dokter. Semua banyak yang kembali ke kampung tua, ikut bapak
mantan. Di sana kitong lebih mudah dapat sagu jadi.” memang benar adanya,
rumah-rumah papan di kampung kwarja banyak yang kosong, rumput-rumput liar
dibiarkan tumbuh tinggi menutupi halaman-halaman rumah. Padahal., dahulu
kampung kwarja dibawah pimpinan bapak mantan rapid an bersih. Mama mama yang
dulu bertani coklat dan bisa menjual coklat pada pemborong dalam jumlah besar
sekarang membiarkan coklat-coklatnya mongering dan membusuk, kata seorang bapak,”dulu kitong kalo panen coklat bisa banyak
sekali. Di sini mama-mama memang diajarkan cara tanam dan pelihara coklat,
hasilnya bagus, dan ada yang beli. Sekarang su trada yang datang ambil kitong
pu coklat. Karena susah makan, dorang pigi berpencar cari makan”. Tragis
sebenarnya, kwarja dan masyarakatnya yang sedang berada di ujung tanduk
kehidupan. Mereka kembali lagi ke hidup mereka dahulu, makan tidur berburu di
hutan setiap hari. “ sudah 2014, dan
mereka memilih untuk kembali ke kehidupan mereka dahulu, hidup di hutan lagi,
hidup hanya untuk berburu, totok sagu, makan, tidur, begitu setiap hari.”kata
paman menggelengkan kepala. Paman yang
sudah mengenal kwarja sejak lebih dari 8 tahun yang lalu merasa kecewa
sekaligus sedih. Kwarja gagal ditangan putra kampungnya sendiri.
Langit cerah siang itu di kampung
Kwarja. angin berhembus kencang membawa hawa ngantuk pada badan pegal dan perut
kenyang kami berlima. Kami tengah terlelap kala empat mama dengan beberapa anak
datang berkunjung. Menyimak cerita mereka panjang lebar tentang kampung kwarja.
Seorang mama yang tengah menghisap rokok
anggur kupu yang kami bawa (sebagai bahan kontak), bercerita,”dorang su lama
kasih tinggal kitong pu kampung. Di sini kitong trada makan jadi. dorang su
berpencar cari makan sendiri sendiri. ada juga yang su pindah di jembatan dua
(letaknya tidak jauh dari SPV,lebih dekat dg kota)”. huff… gw cuman menghela
nafas panjang. Akan jadi apa kampung kwarja nanti. Siang itu kami memutuskan
untuk kembali ke SP. Menginap bukan menjadi pilihan, dan ke kampung tua pun
juga bukan jadi pilihan karena masyarakat sudah berpencar pencar. Setelah
meninggalkan beberapa bahan kontak, bahan makanan untuk dimasak, kami pulang
melanjutkan perjalanan.
ditengah
jalan kami dihadang oleh seorang lelaki bertelanjang dada berkulit hitam
membawa parang besar, sebuah busur dan beberapa anak panah. Kami berhenti, gw
kaget, bingung, sekaligus takut. Gila aj, di tengah-tengah hutan, tiba-tiba muncul
bawa parang besar. tapi ternyata,lala olala, dirinya adalah seorang masyarakat
taja, yang mendirikan kamp disatu sudut hutan ditepi jalan yang kami
lewati. Dirinya pun laangsung dengan
akrab bercengkrama dengan kami di tepi jalan, saat hujan deras tiba-tiba
mengguyur. “woi…. Alam! Ko mengerti
sedikit kah… kitong lagi di jalan ini, jangan hujan dulu… bn%$#U(“ maki
pace sama langit gara-gara hujan tiba-tiba turun deras.”ini pasti kerjaan
dorang dari SPV dorong awan ke sini ni. Kitong jadi basah semua.. ayo mari
kitong berteduh dulu” ajak dirinya dan kami semua pun langsung berteduh dibawah
pohon. “kalian dari kampung kah?ah..bodok
kalian. Kalian tadi tra bilang dulu jadi sama kitong, kalo kitong tau su kitong
hadang waktu ko berangkat, biar tra usah kasih pelayanan jauh-jauh di kampung.
Su trada orang mo di sana, mending ko kasih kitong obat di sini, ato kalo tidak
ko pi kampung tua sekalian to..” pace mengoceh panjang lebar dalam logat
papua. “orang di kampung su bubar semua. Sa sama pace ??? bikin camp di sana
tadi yang ko liat ada camp pake kelambu, itu sudah. Kampung su kosong. Sebagian
ikut bapak mantan di kampung tua. Kwarja su macam Ayam kehilangan
Induknya sudah, koccara kacir bubar cari makan sendiri sendiri karena su tra
punya pemimpin lagi. Bingung
mo ikut siapa, bapa mantan kah, bapa kepala kampung kah. Pemerintah su tra
peduli juga sama kitong. rencananya bapa kepala kampung mo kasih pindah kampung
kwarja di jembatan dua sana. Kitong mo bikin kampung di sana, cari makan
gampang ke kota lebih dekat. sa ini juga mo pindah ke sana, tapi tunggu bapak
kepala kampung yang juga sa pu adek bikinkan sa rumah seng. Cukup sudah derita
saya bertahun-tahun hidup tak pasti dan menderita tinggal di gubuk.”kata pace malah curhat sana sini. gw cuman mengangguk menyimak. Mengamati pace
yang yang nampak lepas pergi berkebun / dari hutan. Dalam keranjang yang
menggantung di punggungnya gw liat ada anakan pohon sagu, beberapa batang tebu,
dan beberapa betatas. “ko bawa apa kah?
Anakan sagu? Besok sa bawakan sudah anakan sagu dari sentani” kata paman
Padwa pada pace menjanjikan anakan sagu untuk ditanam. Tiba-tiba pikiran gw
melayang, anakan sagu yang ditanam sekarang baru bisa ditebang dan
ditotok-remas diambil sagunya setelah 8-10 tahun. Butuh waktu yang lama untuk
mendapatkan sagunya. Huff… entah, gw harus berkomentar apa. Kadang gw berpikir, apa mereka mo begini
terus, hidup dari muda sampe tua cuman hidup untuk cari makan? Anak-anak kwarja
yang menurut gw bisa lebih maju dari sekarang., mentok sampe di sini. belum
pernah ada guru yang masuk ke Kwarja. Ini 2014 pak! Tapi masih ada yang belum
tau baca tulis? HALO YANG DILUAR SANA, DI SINI ADA YANG BELUM TAU APA itu HURUF
DAN ANGKA!!!! Sometimes its too pathetic. Sudah beberapa kali paman Padwa
meminta untuk diberikan satu guru untuk mengajarkan anak-anak ini baca tulis ,
tapi apa kenyataannya? Sudah 8 tahun paman mengenal Kwarja tapi belum pernah
ada satupun guru di sini. gw jadi inget Andi Nisab dana anak-anak kwarja
lainnya. senyum Andi yang selalu gw
rindukan. akankah senyum itu akan selalu mengembang di bibirnya??entahlah.
“mereka masih punya masih depan. Apa kita mo diam saja
membiarkan masa depan mereka suram?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar