Minggu, 14 September 2014

Accidental Story of Wamena (1) : Where am I ?



Accidental Story of Wamena (1): Where am I ?
*Starting to write something

 Day 1 : Augt 8th 2014 - FBLB – Goa Lokale – Mumi Jiwika – Bukit Batu – Pasir Putih
Matahari bersinar malu-malu dari balik kerumunan awan pagi itu ketika gw bersiap berbegas menuju bandara. Ruang tunggu Bandar udara sentani begitu ramai malas meski waktu masih menunjuk pada pukul 06.00 pagi. Waktu bergulir, satu persatu pesawat dengan berbagai jurusan terbang mengikuti pengumuman penerbangan pesawat yang dikumandangkan. Trigana air IL-241 yang seharusnya termasuk pesawat yang terbang di awal tak kunjung disiarkan. Ternyata seperti dugaan banyak orang, trigana terlambat terbang oleh karena banyak alasan. Di salah satu sudut ruang tunggu gw menanti, berkutat dengan gadget untuk sekedar mengalihkan waktu, sambil sesekali mengamati orang-orang di sekeliling.  Susasa ruang tunggu bandara yang ramai mendayu, simpulku.

Trigana ATR = Kursi Pijat
Sekitar pukul 08.15,  1 ½ jam lewat melebihi jadwal terbang seharusnya, pesawat trigana kami pun pada akhirnya lepas landas dan mengudara. Untuk pertama kalinya gw naik pesawat tipe ATR. Dan rasanya naek pesawat ATRnya Trigana itu berasa seperti sedang duduk di kursi pijat, getarannya, terasa dari ujung kaki sampe ujung kepala. Sehingga meski kata orang 30 menit itu cepat, bagi gw, 30 menit dalam pesawat ATR trigana terasa lamaaaa banget *semogalekassampai dengan selamat



Polisi Ganteng
And, after 30 minutes left, We landed safely at Bandar Udara Wamena *yeeeiy.  Udara sejuk langsung terasa menyentuh kulit ketika kaki ini menginjakkan tanah Wamena, kota kecil di sebuah lembah pegunungan jayawijaya.
Suasana begitu ramai oleh orang-orang yang datang, menjemput, menunggu, dan berlalu lalang di sana. agak ragu rasanya untuk melangkah melihat banyak muka-muka yang begitu ‘seram’, hingga akhirnya terjadilah kejadian ini. di pos polisi bandara, seorang polisi muda berbadan tegap (*gantengpula, haha) nampak sibuk berlalu lalang. “maaf pak, kalo di sini nyari ojek dimana ya? koq saya gak lihat ada pangkala ojek ya?” Tanya gw dengan cupunya *maklum baru pertama ke wamena, dan sendiri. “mbak nya mo kemana?biasanya ada, sebentar tak cariin” jawabnya sambil melihat kearah luar halaman bandara. “mo ke hotel rannu jaya pak, jalan trikora...”jawab gw lagi. “oh… deket koq. Gak naek becak aja??”tanyanya lagi. gw menggeleng sambil tersenyum,”enggak deh pak. Takuttt. Baru pertama kali ke wamena jadi.” si bapak eh, mungkin masih mas-mas nglirik gw,”oh.. baru pertama kali ke wamena? Gak ada yang jemput? Atau ada kenalan di sini?’tanyanya lagi. gw meringis,”hihi… gak ada pak..” kata gw singkat. si bapak masih sibuk melihat-lihat keluar halaman, kemudian mengajak gw berjalan lebih jauh keluar jalan lantaran tak nampak adanya satu pun tukang ojek.waktu tiba di gerbang selamat datang bandara, beberapa tukang ojek nampak menunggu di pangkalan. “itu, ada…. Di sana..” tunjuknya. Tapi gw ragu, semuanya orang lokal. Entah kenapa gw takut dan ragu naek ojek penduduk lokal (orang wamena). “di sini gak ada yang pendatang ya pak?? Koq saya takut ya??” kata gw malu-malu ragu. Si bapak polisi ngliat gw lagi, liad dari ujung kaki sampe ujung kepala. Gw cuman meringis. Mungkin yang ada dalam pikirannya,”ni anak… setengah setengah deh. udah berani ke wamena sendiri, tapi disuruh naek ojek orang wamena kagak berani.”. haha. Setelah diam agak lama, mungkin sedang menimbang dan berpikir dirinya akhirnya angkat bicara,“ok, saya anter aja. Hotel rannu jaya deket koq dari sini. sebentar. Saya ambil motor.”kata pak polisi. Gw cuman tersenyum, garuk-garuk kepala. Dengan sebuah motor pinjaman pakpol mau nganterin gw, dan akhirnya, sampelah gw dengan aman di hotel tempat gw bermalam selama beberapa hari di wamena. Hotel Rannu jaya I di jalan Trikora, sekitar 500 meter dari bandara wamena. *feelsoshy

Tukang Ojek yang Penakut
pas anak pulang sekula

Wosilimo, tempat digelarnya festival lembah baliem, terletak sekitar 30 km jauhnya dari kota Wamena. Waktu gw nanya ke tukang ojek, tukang ojeknya nggeleng, ragu-ragu tentang keberadaan wosilimo. Dirinya meski udah dua tahun, tapi belum pernah ke festival lembah baliem, ah, bahkan gak tau itu apa festival lembah baliem.setelah berdiskusi dan bertanya dengan teman sesama ojek, dan tawar-menawar harga kami sepakat untuk berkendara ke wosilimo.  mbaknya gak takut??” “ntar klo ada apa2 gimana?” Tanya pakOjek ditengah-tengah perjalanan. Hamparan savanna yang dilatari dengan bebukitan disegala penjuru  mendominasi pemandangan wamena-wosilimo. Beberapa honai yang berpagar anyaman alang-alang membentuk sebuah perkampungan sesekali terlintas di jalan. gw cuman tersenyum meringis,”takut sih takut, tapi life must go on pak… jalan ajaaa… “kata gw santai dibelakang kemudi pak ojek. jalanan memang sepi, hanya sesekali motor, truk, atau mobil2 offroad melintas. gw sendiri malah asik menikmati pemandangan yang ada. Merentangkan tangan lebar-lebar merasakan hembusan angin yang terasa dingin dan membuat ujung hidung membeku. “masih jauh gak ya mbak?? Hadoh, bensinnya gak saya isi penuh ini. ntar kalo mati dijalan gimana? Truz nti kalo ada orang jahat gimana?” katanya lagi kembali ragu ketika kami melintasi sebuah perkampungan honai di daerah Kurulu.. Penduduk lokal yang berdiri di pinggir jalan yang melihat kami terkesan menyeramkan. Si bapak menjadi keot. Gw cuman tepok jidat,”hajar pak.. tenang. Lurus ajaaaa, ntar sampe koq ke tempat festival. Aamaan, amaaan…” katagw menenangkan. Gw sih takut, tapi koq lucu ya ketemu tukang ojek yang bahkan lebih penakut disbanding gw? *tepokjidatberkalikali.

Festival Lembah Baliem.
Setelah sekitar 1 jam, melewati distrik kurulu dan beberapa distrik lainnya, melintasi berbagai macam pemandangan alam yang indah, kami tiba di wosilimo. Suasana berubah, ramai oleh orang dimana-mana. dua buah truk berisi satuan brimob dan satuan polisi di tempat yang tak berjauhan terlihat berjaga di area sekitar pargelaran festival. Waktu menunjukkan pukul 11.00 wit. Gw pikir udah telat, tapi ternyata pertunjukan belum dimulai. “biasa mbak…. Jam karet. Kemaren aja baru mulai jam 12.00 padahal menurut jadwal jm 09.00” kata mbak2 di pintu masuk festival, sambil menyodorkan booklet / event booklet berisi tentang jadwal pertunjukan selama tiga hari berikut detail cerita dari masing-masing pertunjukan. Untuk memasuki area festival, pengunjung ditarik biaya Rp.20.000 untuk wisdom dan Rp.150.000 untuk wisman perkepala.
lapangannya besar banget

Little bit ‘bout Festival Lembah Baliem. Festival Lembah Baliem tahun 2014 merupakan festival yang ke-25 sejak diadakan di tahun 1980an. Festival ini awal mulanya dilakukan sebagai pengganti dari kebiasaan berperang antarsuku Dani, Lani, dan Yali di masa lampau, meski saat ini sesekali masih sering terjadi perang suku yang sebenarnya.. festival tahunan yang dilakukan setiap bulan Agustus ini menyajikan banyak pertunjukan budaya dari suku Dani,Lani, dan Yali mulai dari atraksi perang-perangan, tarian adat, acara bakar batu, dan berbagai macam lomba antar distrik / kampung yang bisa dinikmati oleh pengunjung festival, seperti lomba kerajinan noken, lomba tiup pikon (pikon : alat music tiup tradisional), lomba karapan babi, lomba permainan Puradan & sikoko (sikoko : perlombaan yg dilakukan oleh anak laki2 dg melemparkan tombak ke suatu sasaran, puradan : perlombaan melempar tombak kea rah lingkaran rotan yang digelindingkan. Keeduanya digunakan untuk mengasah kemampuan anak dalam memainkan tombak, entah untuk berburu ataupun perang2an?? Oh, no) dan lomba memanah dan lempar tombak khusus untuk turis mancaranegara. Wew. 
tari perang-perangan

Satu yang lucu adalah ketika gw baca event bookletnya, disitu tertera beberapa synopsis dari atraksi perang-perangan. Atraksi perang-perangan yang ditampilkan masing-masing distrik punya latar cerita yang berbeda. Tapi jika dibaca dari judulnya, hampir sebagian besar latar belakang terjadinya perang2an adalah sama, masalah hak ulayat / tanah, masalah perempuan, atau masalah nyawa balas nyawa. Ambil beberapa contoh yang gw baca : Distrik Pelebaga :judul : Tersinggung Istrinya dirayu, teman sendiri jadi korban. Distrik Siepkosi : judul : hak Ulayat, 2 suku Bersengketa. Distrik Trikora : judul : Dibunuh Karena Berkebun di Lahan Hak ulayat orang lain. Distrik Bipira : Istri dijahili orang, suami pimpin perang Adat. Tapi, itulah cerita, cerita masa lalu masyarakat suku Dani. Kalo dibilang ya masa jahiliyahnya dulu, meski sekarang satu dua kejadian serupa masih terjadi. And I enjoy it, although they used local language, we were consoled with their attraction, even we laugh several time on many scene.

Kamera diberbagai Penjuru - Camera Everywhere


Dua hal pertama yang membuat gw amaze dengan festival ini. yang pertama adalah adanya ratusan orang2 suku Dani, Lani, dan Yali dengan berbagai kostum dan aksesoris yang unik yang khas suku Dani bertebaran siap pentas di lapangan besar Wosi. Yang kedua, yang buat gw lebih amaze adalah adanya ratusan kamera dengan berbagai macam bentuk dan rupa yang tergantung di leher banyak wisatawan,. Entah hanya sekedar wisatawan, fotografer amatir, dan banyak fotografer profesional (klo ini gw ngJudge dari kameranya yang naudubile punya lensa yang panjang dan lebar dan banyak). Entah dari fotografer lokal maupun fotografer mancanegara. Dari kamera pocket, kamera hp, kamera dslr, kamera Go Pro (yg lagi trend), kamera unik (opo mbok jenenge –kayak punyanya bangTompi ß ajegile juga gw ketemu tompi), kamera dg lensa standar kyk punya gw ampe kamera dengan lensa yang panjangnya mungkin lebih panjang disbanding hidungnya pinokio, dan lebih lebar dari jidatnya Deddy Corbuzier.
laki-laki suku Dani

Meski acara belum dimulai banyak wisatawan sudah asik dengan kameranya mengabadikan segala hal di area festival. Agak lucu juga memperhatikan para fotografer yang matanya tak pernah lepas dari jendela bidik kamera, sesekali melihat hasil jepretan di layar monitor dan kemudian mengintip lagi dijendela bidik. Sekali dua kali terjadi pertengkaran antar fotografer atau wisatawan ketika ada seseorang yang menghalangi pandangan mereka. “what ‘re u doing? Go!!” teriak seorang fotografer dengan sedikit mengumpat mengusir ketika seorang wisatawan asing berdiri berpose didekat sekolompok mama2 suku Dani yg sedang menari menghentakkan kaki. Di tempat lain, hal serupa terjadi, sekelompok laki2 Dani tengah duduk membentuk lingkaran sambil bernyanyi dengan alat music sederhana mereka. fotografer2 mendekat segera mengabadikan apa yang ada di depan mata mereka. kemudian secara tiba2 seorang fotografer memasuki lingkaran laki2 Dani tersebut. “hei… go away!!”teriak seorang fotografer asing yang disusul sorakan fotografer lain tanda kekesalan.  Si fotografer yang memasuki lingkaran nampak tak peduli, dipungutnya sesuatu dari dekat lingkaran penari. Olalaa, ternyata dirinya hanya mengambil sebuah botol air mineral kosong yang berada di dekat lingkaran, yang menurutnya mengganggu hasil ‘capture’an dirinya dan fotografer lain. Gw ketawa, seorang fotografer lokal yang ada disebelah gw juga ikutan ketawa. seseorang nyletuk,”oh… cuman ngambil sampah… he just help us” padahal orang2 udah pada nyorakin. Geleng-geleng dah. Emang segitunya orang pada pengen ngambil moment demi, demi apa gw juga gak ngerti. 
Di tempat lain, seorang laki-laki suku dani tampak begitu menarik perhatian karena kostum yang dikenakannya. Menyadari dirinya disoroti banyak kamera, dirinya berpose (yang pasti gak berpose alay) dengan sebatang rokok di sela jari kirinya, duduk santai dengan kaki berselonjor. Dua orang fotografer nampak begitu asik dan berlama-lama membidik bapak suku Dani ini dari berbagai sudut. Saking asiknya, gw dan beberapa orang yang ada dibelakang sibapak diusirnya, “sts…st..”katanya pada kami dengan gerakan tangan mengibas menyuruh kami berpindah dari tempat kami berdiri. Gw cuman  menurut sambil terus memperhatikan si bule yang gw rasa orang jepang. Tiba2 terjadi satu yang menggelitik, si bapak suku Dani yang mulanya santai, tiba2 menggerak2kan jari tangan kanannya memberi kode pada si fotografer jepang wanita untuk memberinya uang. Tapi si bule jepang ini menolak, menggelengkan kepala,”no.. no…” katanya sambil terus asik membidik si bapak Dani. Si bapak Dani masih terus mendesak untuk diberi uang atau mungkin sekedar rokok, tapi si bule jepang hanya menggeleng, menolak. Dan kemudian si bapak Dani berubah ekspresi, menjadi ganas. “no…!! go… ..huss.. huss…” kata si bapak tadi kemudian mengusir si bule jepang dengan tangan yang dikibas-kibas. Fotografer yang tadinya asik tengkurap pun berdiri, meninggalkan si bapak sambil mengomel, entah ngomel apa. Dan gw, sekali lagi hanya bisa geleng-geleng kepala.
 
Met Her
Di sebuah tempat di podium gw duduk, bersama ratusan wisdom wisman yang sedang menanti pertunjukan perang-perangan yang akan ditampilkan. Terik matahari tak terasa panas oleh sejuknya udara pegunungan jayawijaya. Seorang wanita, berusia gak jauh dari gw yang lepas mengambil gambar dengan kamera pocket silvernya duduk di sebelah gw. beradu pandang, kami saling tersenyum. Tak berapa lama, kami pun saling menyapa. Entah siapa yang dahulu memulai percakapan, yang pasti dari sinilah perkenalan dan cerita kami berlanjut. Friska Simanjuntak, an librarian, work for private company at a school at Timika. “kamu sendiri??”Tanya gw, dirinya mengganguk dan ketika dirinya bertanya balik dengan pertanyaan yang sama, gw tersenyum,”huum…”. Friska, yang rela-rela terbang jauh dari Timika ambil cuti 3 hari demi liat festival lembah baliem, terbang sendiri dan kemudian menginap di rumah temannya teman yang tinggal di wamena yang secara kebetulan adalah panitia festival lembah baliem sehingga dirinya dibantunya untuk pergi menuju tempat festival dan dibantu beberapa hari untuk jalan-jalan keliling wamena. Beberapa obrolan mengalir begitu adanya diantara kami, tentang identitas, tentang festival, dan tentang rencana hari berikutnya di wamena. “gw udah bikin list sih mo kemana aja, pengen ngrasain udang selingkuh, pengen liat mumi, dan blabla”cerita friska panjang lebar sambil menunjukkan secarik kertas coret-coretan tentang apa saja yang harus dilakukan dikunjungi dan dibeli di wamena. “saya sih rencana pengen ke telaga biru, ke goa lokale,liad mumi,  air terjun napua, dan sebenernya pengen ke danau Habema, cuman kata banyak orang masih rawan untuk pergi ke sana. cuman masih belum tau gimana-gimananya..mungki abis ini mo ke goa lokale sama ke mumi yang deket sini” kata gw sambil meringis, karena masih bingung aja. “wah… ya udah, ayo… kita bareng aja…. wa, seru, seru… enakan klo ada temennya, jadi bisa patungan juga, soalnya katanya mahal sih ke mumi…”kata friska dengan excitednya. Gw jadi semakin excited. “ok.. siip, sip….” Dan kami pu menjadi asik membicarakan rencana lepas dari festival dan agenda untuk hari esoknya. Percakapan kami terhenti ketika tiba-tiba api yang dinyalakan seorang suku dani dg hanya menggunakan batang ilalang kering yang digesekkan sebagai bagian dari pertunjukan tiba-tiba membesar dan tak bisa dipadamkan. Terik matahari dan angin yang bertiup kencang membuat api semakin merambah di lapangan yang ditumbuhi rumput kering. Panitia langsung berlarian  berusaha memadamkan api, tapi api semakin membesar hingga menjalar mendekati salah satu podium penonton. Penonton berlarian, termasuk gw dan Friska, meski sambil tertawa menikmati pemandangan yang ada, “aaargh… keren banget, cuman pake pemantik ilalang api bisa jadi besar”kata gw terkagum-kagum meski orang makin khawatir berlarian karena api tak kunjung padam dan semakin membesar. Beberapa wisatawan mendekat membantu memadamkan api dengan menggunakan air mineral yang mereka bawa, hingga tak berapa lama api padam. Fuuh, ada juga kejadian seperti ini.

nyalain api cuma dg menggosokkan kayu di rerumputan
efeknya malah terjadi kebakaran yang susah dipadamkan
ceritanya si anak nglaporin si bapak klo kakaknya abis dibunuh suku sebelah




ceritanya lagi tari-tarian di acara perkawinan


ready to war!

 

Tidak ada komentar: