Minggu, 14 September 2014

Accidental Story of Wamena (4): Getting Lost Again ?



Accidental Story of Wamena (4): Getting Lost Again ?
Day 3 : Sunday, August 10th  2014 – Telaga Biru Maima
Telaga Biru, Maima
Kalo kebanyakan orang Jawa yang mayoritas adalah muslim menganggap hari jumat adalah hari pendek (karena kegiatan terpotong oleh ibadah shalat jumat), di sini, yang mayoritas adalah masyarakat nasrani, hari pendek itu ya hari minggu, karena aktivitas baru bisa dimulai setelah acara ibadah selesai, sekitar pukul 12.00 siang. Kalo kata temen-temen tu hari Minggu adalah Harinya Tuhan, jadi gak ada aktivitas di minggu pagi, selain ibadah. Di minggu pagi di Wamena itu jalanan sepi, hanya satu dua kendaraan yang berlalu lalang, dan toko-toko pun semuanya tutup, gak ada aktivitas perdagangan kecuali di Bandara, Hotel, dan Rumah Sakit.  This why, agenda untuk hari Minggu, hari ketiga gw dipending hingga siang hari, setelah acara ibadah gereja selesai.
Gw dan kakak Gasco pun sepakat untuk jalan ke telaga Biru dan beberapa tempat di Wamena setelah kakaGasco selesai ibadah minggunya, sekitar pukul 12.00. half day is enough to explore several place at Wamena. But, after several times waiting, he didn’t come. kakakGas said,”sorry I’ll be late.. just get ur lunch first while waiting me. I’ll come sooner..”,. gw pun mengiyakan. Dan setelah cukup dan sangat lama menunggu, kakakGas tiba. “sorry… “kata kakakGas sambil menjelaskan keterlambatannya. Pengen protes, tapi orang pu acara jadi, ya sudahlah. “its ok… tong jalan sudah keburu sore matahari terbenam”. Dan kami pun segera melaju, dengan arah yang sama dengan menuju hitigima. “ kaka tau tempatnya dimana? “tanya gw lagi memastikan bertanya pada kakaGas. “sa juga tra tau ya.. coba kita tanya orang dulu sudah e.”kata kakaGas berhenti di pinggir jalan. Gw cuman tepok jidat, tapi kk Gas nampak santai. Benar-benar tidak ada gambaran dimana itu Maima dan telaga biru. Masih di kota wamena, kami bertanya pada seseorang, dari situ dijelaskan bahwa maima sejalan dengan kearah hitigima hanya saja sebelum sampai hitigima ambil jalan ke kiri. Kami pun kembali melaju, dari kota Wamena kearah barat, melewati pasar wouma, kemudian jembatan miring, melewati distrik asolokobal, hingga sampai di daerah tanah longsor ambil jalan kiri. wait a minute? Jalan kiri?? That not look like a street…hanya batuan-batuan karang yang terhampar luas yang diselingi oleh tanaman-tanaman kering. Benar-benar tak nampak seperti jalan. Tapi, dari kejauhan nampak ada sebuah jembatan gantung kuning, yang mungkin ada tanda kehidupan di sana. “ah.. lewat sini kakak.. itu jembatan kuning, kata orang lewat jembatan kuning to..” kata gw mengarahkan, setelah lebih dari dua kali bertanya sebelumnya. 
jalan yang gak kayak jalan
jembatan kuning Maima
Dari jembatan kuning kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. suasana terasa begitu sepi, hanya nampak ada sebuah honai tak berpenghuni, dan jalan setapak dengan pohon-pohon rindang ditepinya. “ ini kemana ya kak??”Tanya gw ke kakaGas. kakaGas nampak santai,”jalan saja…”. gw mencoba menghubungi Fida (fida adalah temannya Bibit yang tinggal di Maima, bibit adalah seseorang yang secara tidak sengaja gw kenal di festival dua hari sebelumnya), hanya saja sinyal yang buruk membuat kami sulit berkomunikasi. Kata fida lewat sms,”dari Jembatan Kuning jalan aja terus ikuti jalan utama, ntar ketemu koq kampungnya”. Gw dan kakak Gas pun akhirnya hanya berjalan mengikuti jalan utama. Sebuah jalan setapak yang semakin lama semakin mendaki dan hanya melewati kebun-kebun tanpa ada rumah. Setelah jalan cukup jauh, terlihat rumah-rumah yang ada di bawah. “ah, harusnya tadi kita lewat bawah kakak.., ato harusnya ke arah sana tadi?”kata gw ragu dengan jalan yang kami tempuh. “ah.. lewat sini sudah… jalan saja..”kata kakakGas santai. Tapi gw merasa ada yang salah. Its not fun if we’re lost in somewhere unknown.
 “tenang tut… percaya sudah sama sa pu insting ini. sa pu insting tu tra akan salah” katanya lagi santai. “aih.. sa tra percaya ya sama kaka pu insting.”kata gw. “ “ih.. jalan sudah.”kata kakaGas, masih merasa kalo jalan yang kami lewati ini benar. “ih.. tra lucu ya klo sore2 begini tong tersesat. Klo tersesat, kaka yang salah e..”kata gw. kami berdua malah bertengkar tak jelas. “ih.. ko percaya sudah.betul ini. Tong liad saja nti. Klo sapu jalan betul ko mo kasih sa apa?”kakGasco.” sa kasih kaka gula-gula saja e… hihi”jawab gw bercanda. Jalanan semakin menjauhi rumah2 yang kami lihat dari atas dan  gw semakin ragu ketika melihat satu bukit di atas yang nampak lebih curam. Di atasnya nampak ada bangunan semacam honai, berfikir perkampungan yang dimaksud ada di atas. “o my God, tong harus naik setinggi itu???”kata gw panic, karena merasa  harus menaiki satu bukit yang curam. Tapi ternyata dugaan gw salah. Setelah melalui sebuah tanjakan dan tikungan di balik bukit (tanpa harus menaiki bukit yang tinggi), nampak batu besar bertuliskan, “selamat datang Maima” dan dibawahnya nampak tersembul sebuah perkampungan di sebuah lembah kecil. “see…!!! We’re not misguided, right! Betul kan kata sa pu insting!”kata kakaGas. Gw cuman meringis.. ,”aaargh… akhirnya ketemu!!!”kata gw berteriak, girang, ternyata kami gak salah jalan. Gw mengeluarkan sebuah permen lollipop yang diberika friska sehari sebelumnya. “nih… selamat, kakakGas betull…”kata gw sambil menjulurkan lollipop pada kakaGas. “ih, masak cuman gula-gula? Macam sa anak kecil saja”kkGas ganas.”yeee… masih mending sa mo kasi gula2…”.
welcome to maima, Nayaklak
Di ujung jalan, nampak seorang perempuan berjaket hitam berjalan mendekati kami. “kayaknya fida ya kak.,..”gumam gw. waktu mendekat, gw tersenyum,”fida ya?? tutut..”sapa gw yang dibalas senyuman olehnya. “huum.. saya fida..”kami pun berjabatan, saling berkenalan. Fida datang bersama seorang anak perempuan berusia sekitar 14tahunan. Fida sendiri adalah seorang perempuan bugis yang tengah bertugas sebagai guru pengajar di SD Maima. Melalui program…. Dari depdikbud, Fida dan beberapa teman lainnya termasuk bibit ditugaskan selama 1 tahun  mengajar di sekolah2 di daerah terpencil termasuk Wamena. Bulan ini adalah bulan terakhir masa tugas Fida, hanya menunggu waktu untuk ditarik kembali ke pusat. “so, Telaga Biru nya jauh kah dari sini?”Tanya gw ke fida dengan penasaran. “ah, tidak… dekat saja..”jawab fida singkat. Kami kembali menaiki dan menuruni bukit selama beberapa meter jauhnya. tidak terlalu menanjak, tapi bagi gw yang gak pernah jalan jauh, cukup bikin terengah juga.”wuii.. fida mantab e. jalan santé tra pake terengah. Ini sa pu nafas sudah satu satu… hosh, hossh”.fida hanya tersenyum santé, cenderung cuek. kakakGasco asik dengan kamera mengabadikan perjalanan kami. “ emang kalo jam segini gak kesorean ya Fida datang ke Telaga?”. Fida yang masih berjalan memimpin di depan menggeleng. “enggak koq. Masih bagus. Cuman lagi kemarau, jadi airnya agak asat”. Gw mengangguk, menyimak. Kami bercerita tentang satu sama lain, tentang Maima, dan masyarakat Maima. Setelah sekitar 15-20menit berjalan, kami tiba di telaga biru. Suasananya sunyi, dan tenaaang sekali. “wa… cantik bangeeet…”kata gw kagum setengah berbisik, Terbawa dengan suasana yang sunyi dan terkesan mistik. Telaga Biru yang terletak di Distrik Maima Telaga yang tidak memiliki sumber kecuali dari hujan, dan tidak mengalir ke tempat lain, memang masih dianggap mistik oleh masyarakat setempat. Ada larangan keras untuk berenang, turun ke telaga ataupun sekedar mengambil air dari telaga. Pernah suatu ketika seorang turis asing mencoba berenang ke dalam telaga, tapi tak berapa lama kemudian dirinya tenggelam, dan jenazahnya tak bisa ditemukan. padahal, telaganya tak nampak terlalu dalam. Masyarakat Maima percaya, bahwa di dasar Telaga Biru terdapat seekor binatang raksasa penjaga telaga.”kalo ada orang ke sini harus ijin dulu kah ke ondoafi ato macam juru kunci gitu??’kata gw masih berbisik, merasa suasana di sekitar telaga berbeda, “something weird”. Fida menggeleng,”paling ijin ama om frangki saja yang biasa jaga telaga kalo ada turis datang”adik kecil yang menemani fida menambahkan. “yang penting hati-hati aja” gw mengangguk.  gw ama kkGas pun segera mengabadikan telaga dari balik pepohonan dalam tenang. Telaganya cantik, air lautnya benar-benar berwarna biru, sedikit kehijauan. dari satu sisi, nampak tepi danau yang mengering. Kesan mistik menambah kecantikan tersendiri Telaga Biru.
veiw ketika balik dari telaga


Waktu semakin menginjak sore, membuat kami memutuskan untuk mencukupkan diri mengabadikan Telaga Biru di hari itu. Fida mengantarkan kami hingga didekat kampung dan kamipun berpisah. Pertemuan yang singkat dengan teman baru. Finally, I gotcha u, Telaga Biru^^

MAF Garage
sekembali dari Telaga Biru, kami menyempatkan singgah ke jembatan kuning awal mula kami berjalan kaki. Jembatan Kuning yang nampak cantik dengan latar bebukitan dan awan putih yang beriak diantara cahaya senja, menggoda kami untuk sedikit mengabadikan gambar.. gw terus menjepretkan kamera tanpa memperdulikan sekitar, bahkan ketika kakaGas sudah bersiap dengan motornya meninggalkan tempat. “wait a minute kakaGas, I want to capture u with yellow bridge as ur background”kata gw berada di bawah jembatan meminta kkGas menahan rem ketika kakaGas bersiap menurunkan motornya dari tanjakan jembatan. “hati-hati e… jangan jatuh, kalo jatuh, nti sa ketawa dulu baru tolong kakak”kata gw menggoda, karena turunan dari mulut jembatan dan  jalanan cukup tinggi dan curam. Gw pun melangkah mundur, mundur ketika pelan-pelan kakakGas menuruni turunan. Dan tiba-tiba…. “bruuuukk…”gw serasa melayang, tanpa sadar gw sudah terlentang dengan kamera di tangan, gw angkat tinggi-tinggi. Jantung tiba-tiba berdegup kencang. Ketika  berjalan mundur, gw gak sadar bahwa dibelakang gw ada lubang. Gw jatuh terjungkal dari ketinggian 1,5 m. kakaGas pun lari mendekat nolongin gw. “its ok.. I’m fine.. I’m fine…fyuuh…” kata gw sambil tertawa. Seorang tete (tete = kakek, dalam bahasa papua) yang berdiri di jembatan nampak kaget melihat kami berdua. “bwahaha.. maka nya… tutut.. tutut… “kakaGas menjulurkan tangannya membantu gw bangun. “sebentar, sa tertawa dulu… bwahahaha… tete, belum pernah liad orang jatuh to?? Tete tertawa sudah…”kata kakaGas pada tete yang masih memperhatikan kami berdua. dan kemudian terdengar tete tertawa kencang, sekencang kencangnya… sungguh, kejadian yang sedikit (ato mungkin banyak,)memalukan. “yeah… silakan kakak tertawa puas-puas sudah..”kata gw. untung si Nikon kagak kenapa-napa. *soambarassingaccident
landasan terbang yang ramai oleh orang2
Dari maima kami bergegas kembali ke kota, mengejar sunset. “kira-kira masih bisa ngejar sunset kah tidak kaka??”Tanya gw ke kkGas yang menjanjikan untuk melihat sunset yang cantik di bandara wamena.”masih… masih kekejar koq..” kata kakaGas sambil mengemudikan motornya dengan kencang. Salah satu yang gw suka dari wamena. Meskipun kota kecil, jalannya sudah aspal dimana-mana, jadi bisa ngebut-ngebut dah. Kami tiba di bandara wamena sekitar pukul 17.15 beberapa menit sebelum matahari terbenam. Meski sudah senja, bandara masih nampak ramai oleh orang-orang. sebentar, sedikit ralat, bukan bandara, tapi LANDASAN Penerbangannya. Yap, di sore hari, landasan akan berubah fungsi, sebagai tempat olahraga, lapangan olahraga dan tempat bermain main masyarakat sekitar. Lantaran wamena terletak di ketinggian di antara pegunungan Jayawijaya yang cuacanya mudah berubah ubah, penerbangan hanya terjadwal di pagi hingga siang hari, sehingga yaaa, kalo sore hari berubah fungsi begini.. unik yak. Dan saya suka senja kala itu, senja di mana matahari perlahan bersembunyi di balik agungnya Gunung Trikora, di sebuah tempat, dimana gw bisa merasakan antaranya dinginnya udara wamena, dan hangatnya matahari senja.

With om Yosep Pagawak, security at MAF wamena

Tidak ada komentar: