Minggu, 14 September 2014

cuap-cuap PTT : sekedar bercerita

Cuap-cuap PTT : Sekedar Bercerita

“ derita itu akan menjadi lebih ringan ketika kita membaginya. Sedang kebahagiaan akan menjadi berlipat ketika kita membaginya” –dee,2014-

Kamis, 3 Juli 2014 ( 5 Ramadhan 1435H)
Lamunan itu terpecah ketika segerombolan orang datang membuat kericuhan di halaman tengah puskesmas. Bukan orang mabok, bukan pula orang bertengkar. Seseorang yang nampak tak seperti seseorang yang sakit dikerubuti oleh banyak orang. “dokter, dokter… tolong ini ada yang kebakaran!!!” teriak seseorang dengan cemas padaku. Gw pun bergegas mendekat. Semua orang nampak panik kecuali satu orang, orang yang terkena luka bakar. “aish… ora popo yo… santé.. santé…” kata Om Pi’i, nama yang akhirnya kuketahui belakangan. Ekspresinya jauh dari rasa sakit, malah sebaliknya hanya cengar-cengir bercanda. “wah… ganti kulit iki…”katanya lagi. Gw cuman bengong, di level luka bakar seluas ini dengan bulla dimana-mana, Om Pi’i masih saja bisa tertawa. Ketika seseorang bertanya tentang rasa sakit dirinya menjawab,”hah… sakit’e wez lewat…. Santé to…”katanya lagi. Gw gak terlalu percaya dengan apa yang dikatakannya. Gw suruh omPi’I untuk berdiri di dekat sumur dan sekujur air langsung diguyurkan padanya dan dirinya masih saja tertawa haha-hihi.
Luka bakar derajat II dengan luas sekitar 20% yang mengenai lengan dan tungkai kiri om Pi’I terjadi sekitar 6 jam sebelum dirinya tiba di puskesmas kami. lengan dan tungkainya tersambar api ketika dirinya hendak menyalakan tungku dengan menggunakan lentera yang berisi bensin, di tengah hutan, di salah satu camp para penebang kayu. Om pi’i sendiri adalah seorang pemburu burung (semoga gw gak salah menyebutkan), yang yaah, kesibukan hari-harinya ya di dalam hutan, sehingga untuk bisa sampai di puskesmas butuh waktu berjam-jam lamanya.

Saat dibawa ke puskesmas kondisi luka bakarnya cukup mengkawatirkan, luka bakar yang sempat di bersihkan dengan air garam (??) dan lumpur (??) di hutan, menjadi sangat kotor hingga harus digosok dan dibersihkan sebelum dilakukan perawatan luka bakar. “om, tinggal dipuskesmas dulu ya… kitong pasang infuse?” kata gw ke omPi’I yang ditolak mentah-mentah oleh om pi’i. “ah, ini ndak papa dok… besok juga sembuh. Dirumah saja sudah e. pun saya gak sakit koq. Gak usah pasang infuse pula to..”. gw cuman geleng, menengok orang-orang yang ada disekitarnya member kode untuk membujuknya dirawat di puskesmas. mamaTiti (yang sudah dianggap sodara oleh omPi’I, karena om Pi’I merantau hanya sendiri dg saudaranya) datang dengan mata berkaca-kaca,”pi’i… pi’i.. koe ngopo too.. ya Allah……”mama titi nampak begitu syok dengan keadaan omPi’i. setelah tawar menawar, akhirnya om pi’I bersedia  untuk dirawat di puskesmas.
Sebenarnya banyak hal yang gw khawatirkan dengan kejadian ini. pertama,puskesmas gw gak punya fasilitas yang baik untuk merawat pasien luka bakar. Salep luka bakar si ada, itupun cuman ‘levertan’, 2014?masih pake levertan?? Ok,kita bicara yang lain. kedua,  pasiennya, gak mau dirujuk, dengan berbagai alasan. Ok, bagian ini pun sangat dimengerti. Kalo dirujuk, dibawah sapa yang mo merawat?? Perantau yang berkelana sendirian, disini, semua udah dianggap saudara, tapi kalo harus nemenin selama beberapa waktu di kota, susah juga. ketiga, well, sepakat untuk dirawat dipuskesmas, tapi,tapi balik lagi ke alasan pertama, ini puskesmas kami ndak ada lho fasilitas yang cukup. Lets cek, salep luka bakar? gak ada, kassa? Cuman ada secukupnya, jelas gak cukup lah untuk perawatan luka bakar cairan? Untuk resusitasi dan bersih luka? Meen, puskesmas gw sering banget ya kehabisan cairan. Ruangan isolasi yang bersih? Ok, yang ini bisa kita atur jo. Obat-obatan dan antibiotic injeksi untuk profilaksis infeksi yang pasti akan jaddi momok dalam penyembuhan luka? Eehm, ada gak ya? cek,cek, ternyata gak semua ada. (eniwe, ini puskesmas apaan sih????). nutritionis? Yang kasih makan diet tinggi protein? Jelas gak ada! Puskesmas gw emang puskesmas rawat inap, tapi serba banyak yang gak ada. Ok, yang gak ada bisa kita atur untuk ada. Alasan ketiga, ini yang paling penting. Ini perkaranya bukan sekedar luka bakar yang kecil Bagaimana coba gw nanganinya? Well, secara teori emang sudah jelas sih begini begitunya dan blablabla. Tapi, jujur, baru pertama kalinya ini gw ‘akan’ merawat pasien luka bakar sendiri (buka buku, baca-baca lagi). alasan yang paling bikin gw khawatir. Bagaimana coba kalo entar ‘ada apa-apa’ (hal yang paling ditakutkan oleh orang Indonesia : ‘ada apa apa’).Gw tawar-tawar lagi pasien untuk dirujuk, dengan berbagai alasan blablabla. Pun jelas luka bakar seperti ini sebaiknya dirawat dipelayanan kesehatan yang lebih baik. Tapi tetep, kekeuh, omPii hanya mau dirawat di puskesmas.
Huuf, tarik nafas panjang, berusaha untuk tenang. Lets try. “omPi’I, mamaTiti, ok, kita usahakan di sini.. tapi mungkin kita pelan-pelan. Saya minta bantuan semuanya, kita usahakan bareng-bareng.” Kata gw menerangkan pada mereka, sambil menenanngkan diri sendiri.

Tiga hari pertama perawatan. : masa percobaan??
Tiga hari awal perawatan bisa dikatakan adalah hari-hari percobaan. Apakah akan dirawat terbuka, apakah akan dirawat tertutup, menggunakan salep apa? Cara membersihkan luka? Dan lain sebagainya. hari-hari awal yang isinya hanya berdiskusi dan berdiskusi dengan perawat perawat yang ada tentang pengalaman masing-masing merawat luka bakar. Ternyata kalo udah megang langsung, banyak hal yang harus dipikirkan. Kebersihan ruang rawat inap, diet pasien, antibiotic yang digunakan, cara perawatan, dan banyak hal. Banyak hal pula yang didiskusiin dengan om Pi’i, dan keluarganya. Urusan diet dan kebersihan semuanya dipegang sama keluarga atas instruksi gw. diet tinggi protein, menyiapkan daun pisang yang disemisterilkan sebagai alas luka, dan sering kali menjadi asisten gw untuk membantu membersihkan luka.

Akhir minggu pertama : ketika infeksi mendera
Infeksi. Momok bagi sebuah luka. Dan hal itu terjadi pada luka bakar om Pi’i. Akhir minggu pertama progresifitas pertumbuhan bakteri terjadi begitu cepat sehingga membuat hampir 60% luka mengalami infeksi. Evaluasi antibiotic dilakukan dan higienitas diperketat. Tapi infeksi yang terjadi sudah tidak dapat dihindari lagi. hal yang membuat urusan pembersihan luka menjadi lebih berat. Debridement jaringan mati dan jaringan yang terinfeksi harus lebih keras (yang itu berarti harus menggosok luka lebih dalam, dan membuat penderitaan pasien menjadi lebih lama).  Sudah satu minggu, tapi penyembuhan luka tak nampak ada kemajuan. Keadaan diperparah dengan munculnya Malaria yang membuat om Pi’I menjadi lemas, dan tak bernafsu untuk makan.  Pasien stress, gw pun jauh lebih stress

Minggu kedua perawatan : hari-hari penuh penderitaan
Om Pi’i berteriak kesakitan. Setelah di minggu pertama perawatan luka dilakukan berselang sehari dua hari, sejak awal minggu kedua, perawatan luka dan penggantian kassa dilakukan secara rutin setiap harinya setiap paginya. Sekitar pukul 08.00 sebelum poli pagi dibuka, gw, dibantu paman Dardi mantri puskesmas  sebagai eksekutor I dan II mengganti perban luka bakar omPi’i. setelah semua alat dan bahan dipersiapkan, om Pi’I didudukkan, diposisikan yang nyaman untuk bisa dibersihkan. masPri, tetangga omPi’I menjadi asisten I yang membantu memegang om Pi’I, memposisikan om Pi’I, mengipas-kipas jika om pi’I mulai merasakan kesakitan dan melakukan hal lainnya. Sesekali Titi, remaja belia yang sudah seperti adek omPi’I membantu perawatan lukanya. “dokter… stop dok.. hadoooh… pelan-pelan…. Sakit dokter…” teriak om Pi’I meringis kesakitan beberapa kali, dan sering kali. Hanya membuka kasa penutup saja om Pi’I sudah kesakitan. “kipas Pri… kipas…”katanya pada masPri, dan masPri pun langsung siaga mengipasi masPri dg kipas elektrik kecil. Gw cuman berhenti sebentar, tapi kemudian berlanjut lagi.” hadoooh…. Dokteeeerrr… pelan-pelan….sa bisa mati ini..”teriaknya lagi kesakitan. Gw cuman nengok sebentar dan melanjutkan eksekusi. (kejam yak gw?haha).”sabar dikit omm… ini dah pelan-pelan”kata gw lagi diamini sama yang lain.”iya.. sabar om Pi’i.. kan biar sembuh”kata titi menambahkan. kassa pembungkus sudah dibuka, lanjut menggosok luka dari jaringan2 mati. “hadoooh.. hadoooh… tolooong, tolong saya dokter…”kata omPi’I ketika gw mulai menggosok lukanya. Tungkainya diangkat menjauh dari gw. gw cuman menghela,”om…. Kalo gak digosok salepnya gak bisa masuk lho om.. lukanya entar lama keringnya..”kata gw mengingatkan. Om Pi’I hanya bisa pasrah, sesekali menawar bagian mana yang boleh dan jangan disentuh tapi tetap saja gw lakukan apa yang seharusnya dilakukan.
Dan kejadian itu terjadi berhari-hari. Gw gak ngerti seberapa sakitnya luka bakar itu, tapi yang pasti nyerinya bisa membawa seseorang menjadi kehilangan senyumannya. “masih dibersihin ya Dok?’tanya pasien suatu pagi. Gw cuman tersenyum, mengangguk. “semangat ya Om..”kata kami orang2 disekitarnya. “ paman Dardi mana? hadoooh… sama paman dardi saja sudah dok… dokter kasar jadi…”gw tersenyum ketawa, banyak yang bilang gw tergolong kasar, ok,gak selembut pamanDardi ketika membersihkan luka,tapi tujuan gw kan baiiik *ngeles. “paman ada posyandu… sama saya saja sudah to…” kata gw lagi. “amppun… ampun dokter… ampuun… aarhgh… hadooo… ya Allah…. “omPii kembali kesakitan ketika gw bersihin lukanya lagi. “saya ampuni Om..”jawab gw singkat yang membuat omPi’I berhenti berteriak tapi tetap meringis kesakitan. “dokter ini…saya sakit betul ini..”omPii mengomel. “yaah,…. Sa tau too.. mana ada omPii pura pura…hihi”jawab gw becanda.  ya sudah, putar lagu sudah e… mo putar apa? Dangdutan?kroncongan?”tawar gw mengalihkan, mungkin saja musik bisa mengurangi rasa sakit. Tapi ternyata omPii gak suka ndengerin lagu. Padahal gw, masPri, titi dan pakDardi lebih memilih adanya alunan lagu di rawat inap. Alasan utamanya : biar kami gak tegang dan hati kami gak teriris mendengar jeritan om Pi’i

Akhir minggu kedua- awal minggu ketiga : Putus Asa
sudah dua minggu berlalu namun masih banyak luka yang basah dan infeksi belum saja mengering. Dan tiada hari tanpa mendengarkan jeritan kesakitan om Pii, makin hari makin menyayat hati. orang-orang yang sesekali datang, atau tak sengaja melihat,nampak mengernyitkan dahi, kadang nampak iba dan tak tega melihat om Pii. Semangat om Pii mulai memudar, ketika pagi hari melihat gw membawa peralatan perawatan luka tubuhnya langsung lemas, tak semangat tak berdaya. Meski malaria sudah tak ada, kondisinya malah makin melemah, diet menjadi jauh menurun, tubuhnya jauh lebih lunglai, duduknya tak tegak, dan menjadi lebih sensitive. Jika diawal-awal minggu kami masih bisa bercanda, diakhir minggu ketika omPii mulai nampak tak bersemangat untuk berbicara. “dokter…. Kapan sembuhnya dok?? Saya mati saja sudaaahhh…”kata omPii dengan suara lirih. Semakin hari, semakin jarang gw dengar teriakan kesakitannya. Bukan karena hilang sakitnya tapi karena sudah tak sanggup lagi berteriak. Yang ada hanya lirih rasa sakit dan lirih tangisan. Jika biasanya gw sering marahin pasien laki-laki yang menangis karena sakitnya yang menurut gw itu gak ‘laki banget’ atau gak ‘tough’, tangisan lirih omPi’I cuman bisa bikin gw diem. Rintihannya yang penuh derita dan keputusasaan dan itu bener2 bikin gw dan siapapun yang mendengarnya hanya bisa terdiam dan ikut menderita. Meski luka bakarnya sudah membaik tapi rasa sakitnya tak bisa dipungkiri masih saja terasa. To hear him scream is better then to hear his moan dan groan. Coz his moan made us hurt. Coz in his moan mean so much suffering and no much thing we can do to relieve his ‘pain’. Not just pain from his wound, but pain on his heart, pain on his life.

Minggu ketiga perawatan : ketika harapan itu muncul
Perlahan tapi pasti satu persatu bagian luka bakar mulai mengering. Luka yang mengalami infeksi tak bertambah dan semakin berkurang. “udah banyak yang kering om. Cuman yang item-item ini, kayaknya masih lama. Kita rawat pelan-pelan ya..”kata gw di satu kesempatan. Gak kerasa, bulan ramadhan kali ini terasa cepat, sudah memasuki minggu ketiga puasa, yang itu berarti juga memasuki minggu ketiga perawatan luka omPii. “kira-kira lebaran udah bisa pulang gak ya Dok? Saya pengen lebaran di rumah. saya juga udah bosen dok di sini…”kata omPii mengeluh. “insyaallah Om… semoga sebelum lebaran udah bisa pulang. Wajar sih rasa bosan mulai muncul, tiga minggu hanya berada di ruang rawat inap pusekmas tanpa ada pemandangan indah apapun. Setiap harinya ada saja pasien keluar masuk rawat inap, tapi hanya dirinya lah yang paling lama bertahan. Bosan karena tidak ada aktivitas dan kesibukan. Meski setiap hari selalu saja ada kawan yang menengok dan berkunjung, tapi dirinya begitu merindukan untuk melihat indahnya dunia di luar sana. “dok… saya ngrokok ya… su lama tra merokok jadi. sa pu kepala su pusing ini”katanya suatu hari. Disela jari telunjuk dan jari tengah terjepit sebatang rokok yang sudah nyaris habis. Dirinya nampak begitu santai tertawa bercengkerama dengan kawan-kawan tukang kayu yang sore itu tengah menjenguknya. Gw cuman tersenyum, setengah tepok jidat, pasrah. Dan setelah beberapa hari berlalu, tepatnya seminggu sebelum hari lebaran, omPii gw pulangkan, dengan melihat kondisinya yang sudah membaik dan dengan berbagai pertimbangan dan beberapa persyaratan.

H-2 Lebaran : Semangat Lebaran
Sesuai dengan jadwal, waktunya gw untuk membuka perban dan merawat beberapa luka yang tersisa. Suasana lebaran sudah terasa sekali hari itu. Banyak orang sibuk menyiapkan ketupat, kue lebaran dan tetek bengek lainnya, termasuk di rumah mamaTiti, tempat omPii tinggal. “kita kasih bersih luka ya om… ok??”kata gw yang cuman dijawab anggukan kecil. omPii sudah jauh lebih cerah sekarang. sudah bisa becanda-canda lagi. senang dan puas rasanya. Meski masih banyak yang sudah mengering, masih ada beberapa bagian yang harus dikelupas dan dibersihkan. “om, yang ini saya kelupas ya om..”kata gw pelan-pelan sambil menarik jaringan yang mati. OmPii nampak mengernyit kesakitan,”hadoh.. udah dok, udah.. sakit yang itu dok. Kasih tinggal sudah yang itu, buat kenang-kenangan..”katanya yang malah menimbulkan gelaktawa buat kami semua. “bah, kenang-kenangan gimana om.. harus dikupas ini..”kata gw sambil tertawa.”hadooh. tapi sakit itu… biar sudah. Besok lagi”katanya yang membuat gw menurut. Pelan-pelan. Jingga senja makin nampak keemasan tanda segera matahari kan terbenam. Di beranda rumah mamaTiti kami bercengkerama selepas membersihkan luka om Pii. Semuany menghela nafas panjang. meski perawatan belum sepenuhnya selesai, semua merasa lega,karena masa-masa berat itu sudah terlewati. Gw lega, omPii lega, pamanDardi lega, mamaTiti dan Titi pun lega. Meski banyak hal yang kami lewatkan demi kesembuhan omPii, tapi gw rasa banyak yang merasakan hikmah di bulan ramadhan ini. berkah ramadhan yang tak bisa dipungkiri oleh semuanya. Orang boleh bilang ini musibah, tapi ketika semuanya telah terlewati, kami anggap ini adalah berkah.




Senja di 28 ramadhan mungkin bukan senja yang terindah, tapi senja itu membawa kami pada satu senyuman yang membuat kami tak lagi menjadi orang asing. Senja yang membuat kami menyadari, hidup lebih indah disbanding yang kita sangka sebelumnya.

 

minggu, 27 Juli 2014 (29 ramadhan 1435H) : Budhe…..

‘keromantisan tanpa kata’
sudah dua bulan ini budhe hanya terbaring lemas di ranjang rumahnya. Diabetes yang sudah lama diderita pada akhirnya harus memaksa budhe turun ke kota untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di awal dua minggu pertama. Mual dan muntah terus terjadi meskisudah diberi segala anti mual dan muntah. Diabetes Gastroparesis, diagnosis yang gw dan dokter spesialis duga, salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes. Pada akhirnya, hanya edukasi untuk menjaga pola makan, dan diet yang dikonsumsi sehari-hari yang menjadi dasar kesembuhan budhe. Obat-obatan antimual yang dirasa cocok oleh budhe, mulai dikonsumsi secara rutin, disamping insulin injeksi yang rutin diberi guna mempertahankan kadar gula.
Kondisi budhe menjadi ‘lumayan’ membaik setelah mendapatkan perawatan dari rumah sakit oleh dokter spesialis penyakit dalam. Namun kondisi yang ‘lumayan’ tersebut masih sering naik turun, salah makan sedikit muntah, tidak makan pun muntah, terkadang saat mengkonsumsi obat anti mual kondisi membaik, namun kemudian kembali muntah.
 Malam itu budhe kembali muntah. Sudah dua hari ini kondisi budhe kembali menurun. Muntah-muntah yang tak sedikit, bisa lebih dari lima kali, hanya berupa air dan lendir lantaran budhe tak mau makan sesendokpun. Serba salah memang, makan muntah, gak makan muntah, hingga budhe pun terpaksa kembali dipasangkan cairan infuse untuk mengganti cairan yang hilang karena muntah. Pakde terduduk lemas di ranjang tempat budhe terbaring. Suara takbir menggema terdengar jauh dari luar rumah. Yap, malam itu adalah malam takbiran. Malam takbiran yang membawa suasana sendu dengan rintikan gerimis yang tak kunjung reda. Pakde tiba-tiba menitikkan air mata. Malam itu beliau bercerita banyak, bercerita tentang kehidupannya, perjuangannya di rantau bersama budhe dan dua orang anak perempuannya. “sedih hati saya dok kalo lihat budhe beginiii.. dulu, meski mo makan saja susah, lebaran itu semua rasanya seneng. Cuman kumpul sama anak aja, rukun gini, sudah cukup seneng. Tapi kalo begini, nelangsa saya dok….”cerita pakde. Matanya nampak berkaca-kaca. Budhe gw perhatikan sudah lelap dalam tidurnya. Setelah hampir dua hari tak dapat tidur nyenyak karena muntah2, budhe nampak terpejam dengan tenang. Sejak suara takbiran terdengar, frekuensi muntah budhe berkurang.Pakde kembali bercerita.  pakde yang seorang perantau transmigran dari jawa timur, tak memiliki modal apapun saat bertransmigrasi. Semuanya hanya mengikuti prosedur dan aturan yang sudah pemerintah buat. Di tahun 1995 (semoga gw gak salah mengingat), Membawa dua orang anaknya yang masih kecil, pakde ditempatkan di Taja, diberi sebuah rumah papan. Pakde yang awal mulanya tidak tau bercocok tanam, oleh petugas transmigran diajarkan cara mengolah tanah. Hal sama diajarkan pada semua transmigran, baik yang dari Jawa maupun yang dari Nusa Tenggara Timur. Dua ekor ayam diberikan pada masing-masing rumah untuk dipelihara. Dan dari sini lah pakde belajar, memulai semua hidupnya di tanah rantau, di tanah transmigrasi. Awalnya, sama seperti transmigran yang lain, hidup di Taja susah sesekali. banjir setiap hujan turun, dan tanaman sering gagal panen. Meski di awal transmigrasi masyarakat diberi jatah beras dan sembako lainnya untuk hidup dan memulai hidup, hal tersebut tak berlangsung lama. Pada akhirnya, semua kembali pada masyarakat untuk berupaya agar bisa berswasembada dan hidup mandiri. Mereka yang berputus asa di awal akan frustasi, ada yang memilih kembali ke kampung halaman, ada yang frustasi dan memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Beberapa kasus bunuh diri sering terjadi kala itu di daerah transmigrasi.sebaliknya, mereka yang bertahan, mereka yang mau berjuang, bisa mencapai kesuksesannya sekarang. termasuk pakde, salah satu yang berhasil di daerah transmigrasi, mengembangkan usahanya dan kini menjadi pengembala dan penjual sapi yang terpercaya oleh masyarakat. kesahajaannya, dan keringantanganannya dalam membantu siapa saja yang membutuhkan, membuat beliau menjadi orang yang ‘cukup dipandang’ dan ‘dihormati’ di masyarakat kini. Pakde bercerita, setiap tahun, setiap lebaran semua terasa menyenangkan, semua orang ebrkumpul, tak hanya anak-anaknya, tapi juga masyarakat yang sudah dianggap anak dan keluarga nya sendiri. di tanah rantau, semua bisa menjadi saudara. Pakde hanya tak habis pikir, kenapa hal ini bisa terjadi pada pakde dan keluarga. melihat bude yang sakit, membuat hati pakde terasa teriris. Kata pakde, “seandainya saya saja yang sakit dok… lebih baik saya yang sakit. Gak tahan saya lihat bude begini.”kata pakde kembali berlinang air mata. Dipijitnya kaki budhe dengan lembut. Diceritakannya bagaimana budhe mengurus pakde selama ini. “yang tau saya makannya apa, maunya apa, ya cuman bude. Sekarang, saya yang harus gantian nyiapin makanan buat bude. Tapi saya sedih, bude tu dulu makan apa aja bisa, gak milih2 kayak saya, tapi sekarang, ditawarin makan apa aja gak mau…” . pakde bukanlah orang yang romantis, bukan pula lelaki yang suka mengumbar rasa sayang. Tapi dari ceritanya, gw bisa bayangin, bagaimana kebersamaan mereka berdua yang saling bantu, saling support, bahkan dari muda hingga kini telah mempunyai empat orang cucu. Budhe yang tau segala hal tentang pakde, kebiasaan pakde, makanan pakde, menyiapan segala kebutuhan dan makanan pakde. Pakde yang pekerja keras, selalu memenuhi kebutuhan rumah, yang terkadang dalam kesenggangan suka beradu canda dengan budhe. Gak ada dominasi dari salah satu, hanya kekompakan, dan keromantisan yang tak berwujud dalam kata. Keromantisan ‘orang jaman dulu’ yang ‘orang jaman sekarang’ bilangnya ‘gak romantis’, tapi bagi gw, hal itu semacam, “keromantisan tanpa kata’. ah, satu cerita yang panjang di malam takbiran yang tanpa gw sadar, bikin gw ikutan berkaca-kaca. Satu cerita yang membuat gw sadar, kebersamaan membawa pada satu kekuatan.. satu cerita yang membuat gw merindukan hal yang sama, merindukan keluarga, dan kebersamaan itu sendiri.

Senin, 28 Juli 2014 ( 1 Syawal 1435H) : Taja dan Lebaran
Suara takbir masih menggema ketika umat muslim Ongan Jaya, Taja selesai melaksanakan shalat idhul fitri di masjid besar Ongan Jaya. Meski berada di daerah rantau yang mayoritas adalah umat nasrani, lebaran di Taja terasa sekali ramainya. Jika di Jawa hanya umat muslim yang merayakan lebaran, di Papua, semua ikut merayakannya, sama halnya jika Natal tiba.  Jika lebaran tiba umat muslim mengatakan,”ayo.. kita pergi lebaran nan di rumah tetangga’, maka istilah yang dipakai masyarakat non muslim ketika silaturahmi ke rumah orang yang berlebaran, mereka menyebutnya,”ayo.. kita pergi ‘pegang tangan’…”.(maksudnya salam2an) Dan lebaran, sebagaimana natal, adalah hal yang disukai anak-anak, terutama anak2 papua, karena mereka bisa jajan, makan kue, minum soda sebanyak yang mereka mau, datang ke satu rumah berganti ke rumah yang lain. termasuk juga Selma,lily,  rikson, dan jekson yang awalnya malu-malu, menjadi dengan enjoy nya berkunjung ke rumah-rumah untuk ‘pegang tangan’ dan makan kue. Di hari lebaran pertama Selma berkunjung ke rumah gw, bersama beberapa anak. kata Selma sambil bersalaman,”selamat lebaran tante dokter…”, gw tersenyum, menyambut mereka ,”makasi say… ayo makan kue nya..”dan dengan cepat mereka mereka menyerbu kue2 yang ada di meja. Di hari kedua, dirinya datang kembali, membawa pasukan yang berbeda, termasuk jekson adeknya. Kata Selma,”jekson, pegang tangan dulu sama tante dokter..”jekson yang baru datang dengan malu-malu menjabat tangan gw. gw tersenyum,”bilang apa jekson?”, jekson bingung kemudian berkata,”makasi tante dokter....”. gw ketawa, “bukan bilang ‘makasi’ jekson.. bilangnya,’selamat lebaran tante dokter…” kata gw meralat. biasanya jekson suka lupa bilang terima kasih kalo abis gw kasih gula-gula, makanya kalo gw tanya,”bilang apa jekson?”, jekson baru bilang,”terima kasih”. tapi ini kan ceritanya lagi datang bertamu lebaran. Jeksonnn… jeksoonn….
Sebenarnya lebaran di Taja gak jauh beda dengan lebaran di tempat lain., hanya gw rasa, variasi makanannya bermacam-macam ketika bertamu, karena memang banyak pendatang dari berbagai suku di Taja. Kalo orang jawa, menunya ada yang Opor ayam dengan ketupat / lontong, bakso, semur ayam, ato kalo di tempat pakde menunya serba Rusa, Rendang Rusa, Opor Rusa, ampe Rawon Rusa (karena di Taja Rusa masih mudah didapat dan murah).  Kalo bertamu di orang bugis menunya ada yang Coto Makasar, ada yang Opor dengan Buras, ada menu Lappa-lappa serba macam lah. dan minumannya, semuanya minuman soda, entah botol entah kaleng, semua bersoda. Gw suka lebaran di Taja, selain menu makannya yang bervariasi, semua menjadi seperti keluarga. Yah, mungkin karena muslim di sini bukanlah mayoritas, jadi ketika berlebaran, terasa sekali hangatnya.

Satu hal yang membuat kami semua tersenyum dengan berkah lebaran tahun ini adalah karena budhe. Pagi itu, ada yang berbeda dengan bude. Setelah berminggu-minggu budhe terbaring lemah, bahkan hingga malam lebaran, pagi itu budhe nampak cerah. Pagi hari, budhe sudah terduduk di kasur meminta untuk dimandikan. Budhe nampak segar ketika gw berkunjung ke rumah. Duduknya tegak, senyumnya merona. Sungguh sangat berbeda dengan beberapa hari sebelumnya. Kata pakde, “baru tadi malam ni saya  merasakan tidur yang nyenyak sekali. Tidur di sebelah budhe yang juga lelap. Sudah lama gak lihat budhe tidur nyenyak”kata pakde. Gw tersenyum lihat budhe. Sedikit terkaget melihat perubahan budhe yang tiba-tiba. Padahal beberapa hari masih benar2 lemas terbaring. Miracle of syawal. Pakde dan budhe duduk berdampingan di sofa ruang tengah. Seperti tradisinya orang Jawa ketika lebaran, gw sungkem ke beliau berdua yang sudah gw anggep pakde budhe gw sendiri. pakde berpesan dan berdoa bt gw dalam bahasa jawa yang buat mata gw berkaca-kaca, sedemikian pula budhe. Budhe cium pipi gw dengan hangat. Terasa seperti ciuman seorang ibu pada anaknya, wangi dan lembut. Hukz, gw terbawa suasana. Suasana yang membuat gw merindukan rumah dan keluarga, bapak, ibuk, dan dua adek gw. gw bersyukur masih bisa merasakan keindahan yang berbeda di Lebaran tahun ini di Taja. Keindahan yang membuat gw belajar untuk menjadi lebih bersyukur, dan lebih mencintai Keluarga gw..^^

 




 

Tidak ada komentar: