Minggu, 14 September 2014

Accidental Story of Wamena (3): Culture and The Outsiders



Accidental Story of Wamena (3): Culture and The Outsiders
Day 2 : Augt 9th 2014 – Hitigima and back to FBLB
Hitigima
Friska kembali mengajak gw gabung dengan acara jalannya. Kali ini, gw pasrah, mo kemana aja, hayuk dah. “soriii.. I’m late..”kata gw yang datang paling belakangan. friska dan teman2nya sudah cukup lama menunggu. “it’s ok, kita juga baru datang koq”kata friska sambil mengenalkan teman-temannya. Teman2 yang juga baru friska kenal hari itu. Ceritanya kakYesa gak bisa antar friska jalan2 so, friska ‘dititipin’ ke temannya yang ada rencana jalan ke luar wamena, tepatnya di hitigima. Dari sini lah gw dikenalin dengan kakGasco, kakSelastina, kak Marthen  dariBelanda (semoga gw gak salah mengingat), dan kakSintike. Bersama mereka, kami baku bonceng, friska dengan kak Sintike,  kakMarthen dg kakSelastina,  Dan gw dg kkGas. Sekitar 30 menit perjalanan, kami tiba di Hitigima, 20km arah timur wamena. Secara letak, posisi hitigima lebih tinggi disbanding kota wamena, sehingga udaranya jauh lebih dingin disbanding wamena (bah, wamena saja udah dingin…). Pemandangan sepanjang perjalanan menuju hitigima gak kalah cantik dengan perjalanan wamena-wosilimo. Ah, gw rasa gak ada pemandangan yang jelek di kabupaten jayawijaya ini. pemandangan yang didominasi padang savanna dengan latar bebukitan menemani perjalanan kami. keluar dari wamena, kami melewati pasar Wouma,kemudian menyeberang jembatan miring yang nyaris ambruk… kakGas said,”it’s maybe the worst bridge I ever see..” motor kkGas mencoba berjalan diatas papan kayu yang sudah pecah di sana-sana, motor dan mobil dari arah berlawanan pun harus baku ganti satu sama lainnya untuk melintasi jembatan.”hold on…”kata kkGas. Gw yang bonceng dibelakang cuman tahan nafas, jangan sampe ban motor ni selip di papan. Agak khawatir sih, but maybe it’s cool!kalo dijawa, jembatan kayak gini mungkin udah masuk tivi kareNa kemiringan jembatan yang terlampau miring dan banyaknya motor dan mobil yang melintasi jembatan ini. jelas, resiko untuk jembatan ini amblas dalam waktu dekat itu besar. padahal sudah ada jembatan baru dan besar di sisi timur jembatan, tapi entah kenapa belum dioprasionalkan dan dibuka. Di sisi lain pemadangan sungai baliem yang terlihat di bawah jembatan nampak begitu menarik perhatian.  Air sungai yang berwarna kecoklatan dan tak memenuhi seluruh lebar sungai menyisakan tepian sungai yang dipenuhi batukerikil-kerikil, yang Uniknya nih, dipakai oleh banyak orang untuk mencuci dan berjemur. Jadi inget sungai di india (kayak di film2 india). Gw perhatiin pakaian2 nampak direntang dijemur dihamparan kerikil, beberapa mama-mama sibuk mencuci pakaian, beberapa lainnya hanya nampak duduk-duduk sambil baku menganyam rambut, dan yang bikin gw kaget adalah beberapa nampak tengkurapan badan ditepian sungai. Meeen, itu lagi berjemur???? Sungguh. Just so unique. Truly like in india.

on the way, asolokobal
  
met tompi at 'tanah longsor'
 
Setelah melewati jembatan motor kami terus melaju hingga melewati distrik asolokobal, dan, daerah ‘ tanah longsor’ yang sering menjadi tempat favorit untuk fotografi hingga tibalah kami di Hitigima. Di hitigima baru gw sadar, ternyata perjalanan kami ini tak hanya sekedar jalan-jalan belakang. Ada misi yang sedang diemban oleh kawan-kawan friska *tsah. Kawan2 friska yang adalah guru2 dari kampus STKIP wamena sedang menyusun buku cerita untuk anak-anak papua. Untuk menyusun buku ini mereka mengumpulkan informasi tentang kisah-kisah heroic, kisah-kisah sarat makna yang nyata yang terjadi di masyarakat papua. Seorang tete (kakek) menjadi narasumber mereka hari itu. Tete adalah seorang Penginjil dari Hitigima. Dia yang membawa injil masuk Hitigima. Kalo dari kata temen gw, Hitigima tu merupakan salah satu tempat pertama injil masuk wamena (semoga gw gak salah). Waktu gw nanya, “penginjil tu apaan? Sama kayak misionaris?’ kata temen gw, “beda, penginjil orang yang bawa injil, biasanya adalah masyarakat asli yang kemudian ditunjuk untuk menyampaikan injil pada masyarakat. Misionaris tu orang yang mengajarkan ajaran agama ke masyarakat yang belum mengenal agama” ok, gw berusaha mencerna meski belum sepenuhnya mengerti. Tapi pada intinya,mereka sedang menyusun cerita tentang kisah2 perjuangan hidup untuk dijadikan buku cerita anak2 wamena. Satu bagian yang lucu adalah waktu tete bercerita ketika dirinya jatuh dari pohon dan kemudian kedua kakinya patah. Karena saat itu di wamena belum ada rumah sakit, dirinya terpaksa dibawa ke sentani dengan menggunakan helicopter. Cerita tete bercampur dengan bahasa asli yang diterjemahi oleh kakSelastina,”itu pertama kalinya saya naek pesawat. Saya takut jatuh. Tidak ada siapa-siapa di sana. hanya saya sama pilot saja. waktu itu saya pikir saya sudah mo mati..” cerita tete yang membuat kami tertawa membayangkan kejadian yang sudah puluhan tahun terjadi.
left to right : kakSelastina, kkGas,kakMarthen, tete, and Sintike


Di bawah pohon yang rindang di atas aliran sungai kami mendengarkan cerita tete. Sebuah kamera dg tripod kecil di arahkan pada tete. kkMarthen menyimak sambil mencorat-coret di buku kecilnya. kakSelastina dan kakSintike menjadi penerjemah, meski tete bisa berbahasa Indonesia, ketika sudah asik bercerita bahasa aslinya sering keluar yang membuat kami hanya ternganga tak mengerti. Sesekali tete membuat kami tertawa dengan ceritanya ataupun bahasa tubuhnya. Ah, such a nice story. Tinggal nunggu kapan buku cerita mereka jadi dan diterbitkan. 

a bug shield / bug shell?. selastina said,dont shatter it, someday, it'll be used for other bug'


sambil nunggu kawan-kawan melakukan wawancara, gw, friska and kkGas jalan-jalan di sekitaran hitigima. gak jauh-jauh, cuman maen di sekitar sungai yang jernih airnya dan sedikit melihat di bagian yang lebih tinggi

nikon d3200 pny gw versus canon eos rebel SL1 pny kkGas
capturing on each other

halo? are u there??
friska and kkGasco

mama-mama dg dong po noken yang berat apaaa...


Baliem Valley Festival Closing
“ the unique one is they always celebrating every moment in their life with singing and dancing’’

Sekitar pukul 12.00 gw dan kkGas berpisah dengan kawan lainnya. Gw terpaksa ikut kkGas lantaran kkGas sudah ada janji dengan kawan lainnya untuk lihat festival lembah baliem bersama. “kk belum liad festival dari kemaren?”Tanya gw. “belum too.. kan kemaren2 masih kerja. Mumpung hari sabtu libur kita mo ke sana. so are u okay following me?” gw mengangguk tersenyum. Kebetulan, masih pengen liad festival.
Bersama dua kawan kkGas,  kkIyek dan uncle Mile, kami melaju ke Wosilimo, berharap belum terlambat untuk festival. Dan ternyata benar, acaranya belum berakhir. Satu dua kampung masih menampilkan atraksinya. Di salah satu sudut, sekelompok mama-mama duduk bersila membentuk lingkaran sambil bernyanyi nyanyi dengan mereka pu bahasa. Di sisi lain, sekelompok laki-laki Dani melingkar rapat bernyanyi sambil memainkan alat music tradisional dan menghentakkan kaki mengikuti instruksi satu pemimpin yg berada ditengah lingkaran. Dilingkaran yang lebih luar mama-mama yang bertelanjang dada bergandeng tangan berlari mengitari lingkaran para lelaki. Penasaran dengan rasanya berputar mengitari lingkaran gw ikutan masuk dalam lingkaran, mendekati seorang mama.”boleh ikut mama?” Tanya gw ke seorang mama yang memakai kaos merah, berbeda dengan yang lain yang bertelanjang dada. Mama tersenyum sambil menjulurkan tangannya mengajak berpegangan tangan,”ayo…mari ikut”katanya. Bersamanya gw ikut berlarian, sekali putar, dua putaran, tiga putaran hingga putaran yang tak terhitung. Lumayan juga rasanya, dibawah terik matahari yang mungkin gak terlalu panas karena udara sejuk ketinggian wamena, tetap saja gw terengah, dan berkeringat. “mama tra rasa capek kah?’kata gw, masih sambil berlari mengikuti putaran. “tidak to… su biasa..” kata mama bahkan tanpa terengah. “ini nanti putar sampai berapa kali kaah??’ Tanya gw lagi, khawatir kalo gak berhenti-henti. “putar saja.. tong ikuti yang menyanyi’ kata mama.
gw mengamati bapa2 yang ada dalam lingkaran masih nampak asik dan bersemangat bernyanyi dan menghentak-hentakan  kaki. Sesekali langkah2 kaki melambat ketika tempo nyanyian melambat, kemudian kembali berlari kencang ketika tempo berubah cepat. Sambil berlari mama mengajak gw untuk mengikuti nyanyiaannya dalam bahasa Dani, terkadang berupa kata-kata terkadang hanya suara2 seperti ‘auwa… auwa…auwa…”ooo…. Ooo.. ooo…” mirip ‘syalala’ atau ‘na..na…na…” nya orang bernyanyi. Jika nyanyian berubah menjadi suatu kata2 dalam bahasa Dani, mama akan menceritakannya pada ku. Kata mama, tarian ini biasa dilakukan ketika ada pesta atau perayaan, pada satu nyanyian mereka bercerita tentang perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian ketika tempo melambat, mereka berganti cerita, nyanyian berikutnya bercerita tentang pesta untuk membangun rumah dan acara bakar batu, kemudian tempo melambat lagi, dan ketika tempo berubah, nyanyian pun berubah menceritakan cerita yang lain, cerita tentang kelahiran seorang anak, dan seterusnya, yang kalo boleh gw simpulkan adalah ‘they always celebrating every moment in their life with singing and dancing’. Nafas gw masih terengah, atau bahkan makin terengah, berlari sambil bercerita gw rasa bukanlah perkara yang mudah. Mama masih menggenggam tanganku erat. Entah kenapa gw rasa genggaman itu terasa hangat, hangat hingga membawa adrenalin tersendiri untuk membuat gw tetep bertahan ikut berlari mengitari lingkaran. “mama betul tra capek kah???hosh, hosh, sa su terengah ini tapi sa liat mama lari sambil cerita macam tra capek…”kata gw yang cuman disambut senyuman setengah tertawa oleh mama. mama begitu menikmati alunan nyanyian dari lingkaran para lelaki. “ capek nanti to di rumah, bisa tidur. Sekarang lari saja…”kata mama dengan ekpresi penuh keceriaan dan semangat masih mengajak gw berlari sambil bercerita. Sekali putaran, dua, tiga putaran hingga kembali tak terhitung. Meski terengah, alunan music dan nyanyian terus memberi dorongan untuk kembali melangkah. Hingga satu titik gw menyadari tarian ini tak akan berhenti dalam waktu dekat ke depan hingga gw memutuskan untuk mengundurkan diri, setelah merasa cukup berkeringat dan merasakan sensasinya menari berlari bernyanyi bersama mereka. “mama, sa cukup sudah e… su tra mampu ini…”kata gw dengan nafas satu-satu, mama tersenyum berusaha menahan tapi cukup mengerti dengan membaca ekpresi muka gw. “terima kasih mama… waaah.. waaah.. waah..” kata gw sambil melepaskan genggaman mengucapkan salam bahasa wamena ‘ waah, waah.. waah… yang bisa berarti ‘salam’, ‘selamat’ ataupun ‘terima kasih’. Mama tersenyum,”waah.. waah.. wah…”jawabnya kembali, diremasnya tangan gw lebih erat sedetik sebelum genggaman itu terlepas. Gw tersenyum, from this moment, I knew, my 2014’s resolution no.1 is more than Done!^^


Kami kembali melangkah mengamati di sisi lain lapangan. Meski semua pertunjukan sudah ditampilkan, masih banyak wisatawan yang wara-wiri di sekitar lapangan untuk mengabadikan gambar, entah di dekat atribut pertunjukan ataupun dengan masyarakat suku Dani peserta festival yang nampak unik dengan aksesoris etniknya. Di sisi lain beberapa mama-mama menggelar ‘noken’nya menjual aksesoris handmade buatan aseli tangan mereka, macam noken, gelang anyam, dan lainnya. Festival  belum sepenuhnya berakhir hingga acara penutupan dimulai, tepat setelah bupati Kab. Jayawijaya tiba di tempat penyelenggaran festival lembah Baliem. Jika bagi wisatawan Festival Lembah Baliem hanya sekedar festival tari-tarian dan perang-perangan, bagi masyarakat setempat (entah suku Dani, Lani, dan Yali) festival ini juga ajang untuk saling ‘unjuk’ atraksi, entah itu dalam bentuk lomba karapan babi, lomba atraksi perang2an dan tari2an, lomba paradan& sikoko atau lomba tiup pikon, yang pemenangnya diumumkan tepat diacara penutupan festival. Satu kebanggaan bagi mereka untuk bisa menjadi pemenang dalam festival ini. acara pun kemudian ditutup dengan doa dan alunan music rege dalam pengeras suara mengiringi bubarnya satu persatu orang di festival.”what? udah?? Gini aja? gak ada firework?? Gak ada yang wow gitu??’tanya gw terbengong2 ketika melihat semua orang bubar jalan meninggalkan lokasi festival. Agak disayangkan ketika acara penutupannya ‘kurang nendang’, kurang ‘berkesan’.  Padahal saat itu banyak wisatawan yang berharap ada sesuatu yang lebih dalam acara penutupan. Padahal pun saat itu masih banyak masyarakat suku Dani yang berkumpul. Ah, andai saja Acara Penutupan Festival Lembah Baliem ini ditutup dengan acara ‘Menari Bersama’,  make a circle, a big, big circle between Dani’s people and tourist and everybody there, holding hand, dancing and singing together, maybe the closing could become more ‘impressive’… ah, andai saja….

uncle mile yang dikrubutin mama-mama
 
left to right : uncle mile, kakIyek, me, and kkGasco
Waktu menunjukkan pukul 17.00, dan kami berempat pun memutuskan untuk ikut bubar jalan. Meski banyak hal bisa diktritisi tentang pagelaran Festival Lembah Baliem ini, gw yakin, semua orang tetap membawa kesan tersendiri dari acara ini, dari sebuah budaya persembahan suku Dani, Lani, dan Yali.  Suku Dani, suku yang membawa cerita dari negeri di atas awan, Wamena
 

Tidak ada komentar: