Jalan-jalan PTT : berceritanya Raja Ampat (part I)
H-0, Rabu, 5 Maret 2014 : Blind Travelling, again
(location : jayapura
to sorong)
“ko kenal dorang kah? Tanyaku berbisik. Bonar menggeleng. Yang lainnya pun
menggeleng.”kupikir temennya mb?” jiaaah,
NI ORANG SIAPA????”
Waktu menunjukkan
pukul 15.30 wit ketika gw menginjakkan kaki di Bandar Udara Domine Eduard Osok
Sorong Papua Barat, setelah hampir tiga jam tertahan di Manokwari oleh karena
angin kencang. Agak terkaget melihat
kondisi bandara yang amat sangat sederhana, kecil, dan tidak ada fasilitas
apapun (ah, untuk masih ada toilet lah). Untuk suatu kota yang merupakan pintu
masuk Raja Ampat, wisata bawah air tersohor di dunia, bandara ini terlampau sederhana..
ah, mungkin masih dalam proses pembangunan dan pengembangan (alasan klise).
Ulu hati gw masih
terasa sakit dan keringat dingin pun tak kunjung berhenti. Gangguan cemas
menyeluruh. Penyakit lama yang selalu muncul kalo lagi travelling. Cemas kalo terjadi
apa-apa, cemas kalo teman-teman travellingnya jahat atau menakutkan, cemas kalo
semua gak berjalan dengan lancar. Cemas semakin munculk ketika tas keril gw
ternyata masih tertahan di manokwari, sebagaimana dengan tas-tas lain penumpang
garuda yang berada di bagasi. Karena angin kencang, semua barang yang berada di
bagasi pesawat diturunkan sementara agar pesawat lebih ringan untuk terbang.
Cemas, karena tas keril gw baru bisa dateng hari berikutnya dan gw gak bawa
apa-apa dalam genggaman gw *byuuuh. Gw perhatiin orang-orang di sekitar. Banyak
penumpang yang sepesawat dengan gw marah-marah, gak terima barang-barangnya
tertinggal. Yang mo plesir ke raja ampat pun ikutan marah, khawatir
barang-barangnya tidak sampai di tangan sebelum mereka melanjutkan perjalanan
menyeberang ke raja ampat. Gw cuman ngelus dada, berusaha ‘keep calm’ dengan
apa yang terjadi. Gw celingak celinguk lagi, sesekali memperhatikan jam yang
ada di ponsel. Masih menunggu kedatangan pesawat seorang kawan yang akan tiba
sekitar pukul 16.00. waktu berselang, sebuah pesawat mendarat di bandara, dan
satu persatu orang muncul dari pintu kedatangan. Gw perhatikan satu persatu
orang yang tiba. Gak ada yang gw kenal. Eh, emang gak bakal ada yang gw kenal
denk. Kan blind travelling. Gw perhatikan lagi orang yang datang, mencari dan
mengira-ngira penampakan yang ‘mungkin’ adalah teman trip gw. hingga muncullah
4 orang lelaki dengan gaya maksimal khas traveler, tas punggung, kaos hitam,
sandal gunung, beserta kamera DSLR
berikut tripodnya. Gw amati mereka lekat-lekat, hingga kami saling beradu
pandang. Gw pun bangkit berdiri mendekat. “Bayu
yaaa??” Tanya gw pada seorang diantaranya yang membawa kamera SLR dengan
kaos hitam bertuliskan ‘national geography’’ . “Tutut?”dirinya malah berbalik Tanya. Gw tersenyum, gak salah. “hu’um…”kata gw sambil menjulurkan tangan
berkenalan. “ini yang namanya bayu. Saya anjar”
katanya sambil menunjuk pada salah seorang lainnya. Kami pun berkenalan.
Bayu, anjar, galih, dan bonar, 4 orang
lelaki berkoas hitam yang memancing gw untuk berkomentar,”kalian pada mo kemana sih? Layatan? Item-item semua??”. Asik
bercerita sambil menunggu barang dari bagasi, tiba-tiba seorang pria berusia
20an akhir berkulit hitam, orang papua ikutan nimbrung ngobrol. Sok sksd.
Karena juga pake baju hitam, dan nampak akrab dengan mereka berempat gw
berpikir panjang,”ni orang siapa ya?guide mereka?temen mereka? atoo…?”. Makin
jadi pertanyaan waktu anjar langsung
menyerahkan tas berisi kamera kepada pace ketika pace meminta untuk dibawakan.
Gimana kalo dibawa lari? Ah, tapi mungkin memang mereka sudah baku kenal. Maka
gw pun langsung baku cerita dengan si pace, baku cerita dengan logat papua gw
yang udah mulai mengental (pake maizena kaliii). Terus asik bercerita, tapi
tanda Tanya dikepala gw belum lenyap. Ni orang siapa sih, koq SKSD banget, dan
bisa tiba-tiba muncul begitu. Gw pun berbisik pada kakBonar,”dorang siapa kah? Ko kenal??” Tanya gw padanya. kakBonar
menggeleng, begitu pula dengan yang lainnya. Si bayu nglirik gw, berbisik,”lah, saya pikir temen mbak Tutut, soalnya
akrab banget gitu?”. gw tepok jidat, gw berpikir ni orang temen mereka, dan
mereka berpikir ni pace temen gw. capeek deeeh. Usut punya usut, ternyata pace
satu adalah seorang porter bandara yang
lagi mabook yang emang sok sksd langsung ikutan nimbrung kami ngobrol
sampe-sampe kami salah anggap. Ckck, tepok jidat, biasanya porter datang
memperkenalkan diri sebagai porter menawarkan jasa, porter yang satu ini, sok
sksd dulu baru abis bawa barang-barang kami, baru kami tau kalo dorang(dia)
adalah seorang porter… *byuuhhh
Awal pertemuan yang
aneh T_T’’
H-1 , Kamis, 6 Maret 2014 : Tongsing
(location : hotel
Indah depan Tembok Berlin – Pelabuhan Rakyat,Sorong – Pelabuhan Waisai,Waigeo –
Pasar Waisai – Yenbesser)
“namanya Tongsing, Tongkat Narsis,
trend terbaru ‘selfie’…”
Sebuah mobil kijang
kami sewa dari hotel Indah yang terletak
di depan ‘Tembok Berlin’ untuk mengantarkan kami berlimabelas menuju Pelabuhan
Rakyat, Sorong. Hanya butuh waktu sekitar
15 menit (jika tidak macet), untuk tiba dipelabuhan. 14 tiket seharga
Rp.130.000 /kepala untuk kapal Speed Marina sudah ada dalam genggaman, dipesan
pagi harinya oleh kakAnca. Gw, kakRunny, Bayu,dan kakFirman di kloter kerdua
masih menunggu kedatangan mobil kijang yang mengantar kawan2 di kloter pertama.
“ayo kita narsis dulu pake tongsing..”kata
kakRunny sambil mengeluarkan sebuah tongkat ajaib yang bisa dipanjangkan, dan
jadilah foto narsis pertama kami.
kakRunny menjadi begitu ramai, melupakan kenyataan bahwa tas kerilnya
tersasar hingga manokwari dan baru akan sampai esok harinya.
Pelabuhan
rakyar,Sorong nampak ramai siang itu oleh lalu lalang orang orang. Entah para
kuli, preman, ataupun orang-orang yang akan menyeberang. setelah sekitar 1 ½
jam menunggu, kapal cepat Marina kami melaju. Butuh waktu sekitar 2 jam untuk
tiba dari pelabuhan rakyat,Sorong ke Pelabuhan Waisai, di pulau Waigeo. Satu
jam lebih cepat dibandingkan dengan kapal fery yang berjalan lambat.

Setibanya kami di
Waisai, perahu speed sudah siap mengantarkan kami ke perjalanan berikutnya,Kampung
Yenbesser. Meski terletak di pulau yang sama,pulau Waigeo, akses menuju
Yenbeser dari Waisai hanya bisa ditempuh melalui perahu speed lantaran jalan
darat yang belum sepenuhnya jadi (baca: masih dalam pembangunan,red). kakLily,bimbim, kakFirman,kakWisnu, kakSully
dan kakRafii menjadi yang pertama untuk diantar ke Yenbesser, sementara sisanya
mengurusi pembelian “Pin Raja Ampat’’ dan mempersiapkan logistic untuk hidup
kami selama di Raja Ampat. “Pin raja Ampat” sendiri kami beli dari kakak2 yang
berasal dari Dinas Pariwisata Kab Raja Ampat. Agak lucu menurut gw kala itu.
Setibanya kami di pelabuhan dan bersiap untuk berpindah perahu, beberapa kakak2
berpakaian batik rapih mendekati kami, kemudian berbicara panjang lebar tentang
konservasi alam, pengembangan masyarakat, dan blablabla, yang diujungnya kami
diwajibkan untuk membeli ‘Pin Raja Ampat’ yang merupakan bagian dari partisipasi untuk konservasi alam
dan lain sebagainya. sempat jadi perdebatan antara kami dengan kakak2 dinas pariwisata tentang penggunaan uang ‘pin Raja Ampat’ yang
terkesan mahal banget. as u know aja, untuk mendapatkan ‘Pin Raja Ampat’ ini
kami harus membayar sebesar Rp.250.000 dengan rincian Rp.75.000 untuk
pembayaran retribusi uang leges, dan Rp.175.000 untuk pembayaran non retribusi
(Raja Ampat Conservation and Community Development Fund) (ntuk wisatawan lokal,
sedangkan untuk wisatawan asing ditarik Rp.350.000). agak jadi pertanyaan ketika ada statement dari
Dinas Pariwisata yang menyatakan bahwa sebagian uang nantinya akan didonasikan
kepada NGO asing yang banyak bertebaran melakukan konservasi alam di Raja
Ampat, seperti CAI, dan lainnya. Lucu kan, NGO koq dapet donasi dari
pemerintah? Namanya NGO- non government organization ya aturan dapat dananya ya
dari donasi sukarela. Kata gw,”berarti ni gw bayar buat bayarin NGO2 itu?ih..
enak banget,kita kasih uang untuk NGO2 asing begitu?” ,bener kan kata gw,truz
orang dinpar jawab,”tapi kan ini juga untuk kebaikan raja ampat juga mbak.
Karena mereka yang selama ini ngKonservasiin alam raja ampat?”, gw komentar
lagi,”tapi mereka konservasi juga ada modus lho, konservasi dengan penelitian2
yang akhirnya mereka jual keluar. penelitian yang hasilnya kita sendiri gak
ngerti.”mbaknya diem lama, masih sambil sibuk nulis kuitansi bukti pembayaran
pin,”tapi uang Pin juga kami pakai
sebagai pengembangan masyarakat mba…” katanya lagi. Langsung gw Tanya balik,”buktinya apa?pengembangan masyarakat
seperti apa? Contohnya apa?”Tanya gw membabi buta, dan kakak Dinparnya pun
terdiam gak bisa jawab. Dalam hati gw cuman bilang,”tes too…? Seberapa paham kalian tentang apa yang kalian pungut dari
kami?bwahaha”. agak miris sebenernya kalo bicara masalah pin ini. kata
kakAnca, guide kami, orang button yang sudah lama tinggal di Yenbesser,”gak
usah beli pin juga gak papa sih sebenernya. Itu, bikin2nya orang dinpar aja.
Pengembangan masyarakat?kami gak pernah tu dapet manfaat dari apa yang mereka
pungut dari para wisatawan.”kata kakAnca agak gak terlalu peduli dengan “pin
Raja Ampat” yang kata orang harus dipunyai sebagai tiket masuk Raja Ampat.
Tapi, yaaah, ambil hikmahnya aja, kami jadi punya satu kenangan2 yang cuman
dipunya kalo udah pernah ke raja ampat,”Pin RAJA AMPAT” yeeeiyyyy. Seperti
kakRafii bilang juga,”bagaiamanapun
kenyataannya uang akan dikemanakan, yang
pasti kita Wisatawan sudah ikut berpartisipasi dalam mengKonservasi Alam Raja
Ampat dengan membeli Pin Raja Ampat, sebagai mana apa yang mereka katakana. Mo
dikemanakan nanti uangnya, itu sudah jadi tanggung jawab mereka. to??”.
Kata bang Rafii disuatu waktu sambil sibuk membersihkan kamera DSLR.
 |
pin raja ampat edisi 2014 |
“kami mencintai tanah ini, dimana
kami ingin menikmati keindahannya yang mungkin tak akan abadi. Tapi kami
berjanji akan tetap menjaganya, agar kelak, suatu saat nanti kami dapat
kembali, bersama anak cucu kami dengan alam yang masih indah berseri.”
Selesai
mengurus persyarakat memasuki wilayah taman Nasional Raja Ampat, kami
melanjutkan perjalanan menuju pasar tradisional Waisai, berbelanja sayur mayur,
bahan makanan dan logistic untuk hidup selama 5 hari di Yenbesser,dan berlanjut
menuju kampung Yenbesser, dengan perahu yang sama.
Belanja di pasar tradisional waisai
H-2, Jumat, 7 Maret 2014 : bermula dari Sejarah Raja Ampat
(location : Yenbesser
– pulau Friwen – Pulau Pasir Timbul / pulau Roti - Yenbesser)
Terbangun dengan
suara-suara burung burung dari balik hutan yang berada tepat dibelakang rumah
singgah tempat kami tinggal. Gw bangkit dari lelap gw. Waktu menunjukkan pukul
06.00 pagi ketika satu persatu orang terbangun. Beberapa sudah menghilang entah
kemana berjalan untuk menikmati pemandangan disekitar rumah singgah. Beberapa
yang lain sibuk di dapur untuk mempersiapkan sarapan pada pagi hari itu, dan beberapa lainnya lebih
memilih menikmati pagi dengan sekedar duduk-duduk sembari menyeduh kopi teh
susu di teras rumah. Rumah singgah kami sederhana, sebuah rumah semi bata
(setengah bata,setengah kayu), yang terdiri dari satu ruang tengah,satu dapur,
satu kamar mandi, dan dua kamar tidur, yang
hampir sama dengan semua rumah yang ada di kampung Yenbesser, hasil
pembangunan kampung yang didanai oleh dana Respek kampung. Seorang lelaki paruh baya asli papua penduduk
kampung yenbesser mengunjungi rumah kami dan obrolan pagi kami pun mengalir
begitu saja. satu cerita tentang sejarah Raja Ampat, tentang asal mula nama itu
muncul dan kemudian dikenal oleh masyarakat dunia…………….
Selesai menyantap
tumis kangkung dan tempe tahu goreng sebagai menu sarapan pagi, kami bersiap
untuk memulai petualangan kami mengeksplore taman nasional raja ampat. Hari
itu, jalan-jalan dimulai dari Pulau Friwen, yang hanya berseberangan letaknya
dengan kampung Yenbesser. Pulau Friwen, sebuah pulau kecil yang dihuni oleh
beberapa penduduk memiliki pantai pasir putih yang pasirnya lembuuttt banget,
kayak tepung kata orang-orang. Air lautnya yang jernih menampakkan biru
hijaunya dasar laut. Cantik.
Puas bermain air di
Friwen, kami berpindah menuju Pantai Pasir Timbul diseberang pulau Roti.
Sekitar pukul 12.00an ketika air laut
sudah surut, kapal kami berlabuh di pantai pasir timbul. Menikmati hamparan
pasir putih yang hanya muncul ketika surut terjadi. Sebuah pantai pasir timbul
dengan hamparan lautan dangkal yang biru, dengan koral-koral mungil yang masih
banyak dihuni biota laut yang berwarna-warni.
 |
with my Nikon AW100 by kakZeth & Josuwa |
 |
with my Nikon AW100 by kakZeth & Josuwa |
|
 |
tongsis kk Runny dan pulau gosong |
| | |
by bayu ghahara |