Jumat, 06 Juni 2014

Jalan-jalan PTT : berceritanya Raja Ampat (part I)

Jalan-jalan PTT : berceritanya Raja Ampat (part I)
H-0, Rabu, 5 Maret 2014 : Blind Travelling, again
(location : jayapura to sorong)

“ko kenal dorang kah? Tanyaku berbisik.  Bonar menggeleng. Yang lainnya pun menggeleng.”kupikir temennya mb?” jiaaah, NI ORANG SIAPA????”

Waktu menunjukkan pukul 15.30 wit ketika gw menginjakkan kaki di Bandar Udara Domine Eduard Osok Sorong Papua Barat, setelah hampir tiga jam tertahan di Manokwari oleh karena angin kencang.  Agak terkaget melihat kondisi bandara yang amat sangat sederhana, kecil, dan tidak ada fasilitas apapun (ah, untuk masih ada toilet lah). Untuk suatu kota yang merupakan pintu masuk Raja Ampat, wisata bawah air tersohor di dunia, bandara ini terlampau sederhana.. ah, mungkin masih dalam proses pembangunan dan pengembangan (alasan klise).
Ulu hati gw masih terasa sakit dan keringat dingin pun tak kunjung berhenti. Gangguan cemas menyeluruh. Penyakit lama yang selalu muncul kalo lagi travelling. Cemas kalo terjadi apa-apa, cemas kalo teman-teman travellingnya jahat atau menakutkan, cemas kalo semua gak berjalan dengan lancar. Cemas semakin munculk ketika tas keril gw ternyata masih tertahan di manokwari, sebagaimana dengan tas-tas lain penumpang garuda yang berada di bagasi. Karena angin kencang, semua barang yang berada di bagasi pesawat diturunkan sementara agar pesawat lebih ringan untuk terbang. Cemas, karena tas keril gw baru bisa dateng hari berikutnya dan gw gak bawa apa-apa dalam genggaman gw *byuuuh. Gw perhatiin orang-orang di sekitar. Banyak penumpang yang sepesawat dengan gw marah-marah, gak terima barang-barangnya tertinggal. Yang mo plesir ke raja ampat pun ikutan marah, khawatir barang-barangnya tidak sampai di tangan sebelum mereka melanjutkan perjalanan menyeberang ke raja ampat. Gw cuman ngelus dada, berusaha ‘keep calm’ dengan apa yang terjadi. Gw celingak celinguk lagi, sesekali memperhatikan jam yang ada di ponsel. Masih menunggu kedatangan pesawat seorang kawan yang akan tiba sekitar pukul 16.00. waktu berselang, sebuah pesawat mendarat di bandara, dan satu persatu orang muncul dari pintu kedatangan. Gw perhatikan satu persatu orang yang tiba. Gak ada yang gw kenal. Eh, emang gak bakal ada yang gw kenal denk. Kan blind travelling. Gw perhatikan lagi orang yang datang, mencari dan mengira-ngira penampakan yang ‘mungkin’ adalah teman trip gw. hingga muncullah 4 orang lelaki dengan gaya maksimal khas traveler, tas punggung, kaos hitam, sandal gunung, beserta  kamera DSLR berikut tripodnya. Gw amati mereka lekat-lekat, hingga kami saling beradu pandang. Gw pun bangkit berdiri mendekat. “Bayu yaaa??” Tanya gw pada seorang diantaranya yang membawa kamera SLR dengan kaos hitam bertuliskan ‘national geography’’ . “Tutut?”dirinya malah berbalik Tanya. Gw tersenyum, gak salah. “hu’um…”kata gw sambil menjulurkan tangan berkenalan. “ini yang namanya bayu. Saya anjar” katanya sambil menunjuk pada salah seorang lainnya. Kami pun berkenalan. Bayu, anjar, galih, dan bonar,  4 orang lelaki berkoas hitam yang memancing gw untuk berkomentar,”kalian pada mo kemana sih? Layatan? Item-item semua??”. Asik bercerita sambil menunggu barang dari bagasi, tiba-tiba seorang pria berusia 20an akhir berkulit hitam, orang papua ikutan nimbrung ngobrol. Sok sksd. Karena juga pake baju hitam, dan nampak akrab dengan mereka berempat gw berpikir panjang,”ni orang siapa ya?guide mereka?temen mereka? atoo…?”. Makin jadi pertanyaan waktu anjar  langsung menyerahkan tas berisi kamera kepada pace ketika pace meminta untuk dibawakan. Gimana kalo dibawa lari? Ah, tapi mungkin memang mereka sudah baku kenal. Maka gw pun langsung baku cerita dengan si pace, baku cerita dengan logat papua gw yang udah mulai mengental (pake maizena kaliii). Terus asik bercerita, tapi tanda Tanya dikepala gw belum lenyap. Ni orang siapa sih, koq SKSD banget, dan bisa tiba-tiba muncul begitu. Gw pun berbisik pada kakBonar,”dorang siapa kah? Ko kenal??” Tanya gw padanya. kakBonar menggeleng, begitu pula dengan yang lainnya. Si bayu nglirik gw, berbisik,”lah, saya pikir temen mbak Tutut, soalnya akrab banget gitu?”. gw tepok jidat, gw berpikir ni orang temen mereka, dan mereka berpikir ni pace temen gw. capeek deeeh. Usut punya usut, ternyata pace satu adalah seorang porter bandara  yang lagi mabook yang emang sok sksd langsung ikutan nimbrung kami ngobrol sampe-sampe kami salah anggap. Ckck, tepok jidat, biasanya porter datang memperkenalkan diri sebagai porter menawarkan jasa, porter yang satu ini, sok sksd dulu baru abis bawa barang-barang kami, baru kami tau kalo dorang(dia) adalah seorang porter… *byuuhhh
Awal pertemuan yang aneh T_T’’


H-1 , Kamis, 6 Maret 2014 : Tongsing
(location : hotel Indah depan Tembok Berlin – Pelabuhan Rakyat,Sorong – Pelabuhan Waisai,Waigeo – Pasar Waisai – Yenbesser)

“namanya Tongsing, Tongkat Narsis, trend terbaru ‘selfie’…”

Sebuah mobil kijang kami sewa dari hotel Indah  yang terletak di depan ‘Tembok Berlin’ untuk mengantarkan kami berlimabelas menuju Pelabuhan Rakyat, Sorong.  Hanya butuh waktu sekitar 15 menit (jika tidak macet), untuk tiba dipelabuhan. 14 tiket seharga Rp.130.000 /kepala untuk kapal Speed Marina sudah ada dalam genggaman, dipesan pagi harinya oleh kakAnca. Gw, kakRunny, Bayu,dan kakFirman di kloter kerdua masih menunggu kedatangan mobil kijang yang mengantar kawan2 di kloter pertama. “ayo kita narsis dulu pake tongsing..”kata kakRunny sambil mengeluarkan sebuah tongkat ajaib yang bisa dipanjangkan, dan jadilah foto narsis pertama kami.  kakRunny menjadi begitu ramai, melupakan kenyataan bahwa tas kerilnya tersasar hingga manokwari dan baru akan sampai esok harinya.  

Pelabuhan rakyar,Sorong nampak ramai siang itu oleh lalu lalang orang orang. Entah para kuli, preman, ataupun orang-orang yang akan menyeberang. setelah sekitar 1 ½ jam menunggu, kapal cepat Marina kami melaju. Butuh waktu sekitar 2 jam untuk tiba dari pelabuhan rakyat,Sorong ke Pelabuhan Waisai, di pulau Waigeo. Satu jam lebih cepat dibandingkan dengan kapal fery yang berjalan lambat.





Setibanya kami di Waisai, perahu speed sudah siap mengantarkan kami ke perjalanan berikutnya,Kampung Yenbesser. Meski terletak di pulau yang sama,pulau Waigeo, akses menuju Yenbeser dari Waisai hanya bisa ditempuh melalui perahu speed lantaran jalan darat yang belum sepenuhnya jadi (baca: masih dalam pembangunan,red).  kakLily,bimbim, kakFirman,kakWisnu, kakSully dan kakRafii menjadi yang pertama untuk diantar ke Yenbesser, sementara sisanya mengurusi pembelian “Pin Raja Ampat’’ dan mempersiapkan logistic untuk hidup kami selama di Raja Ampat. “Pin raja Ampat” sendiri kami beli dari kakak2 yang berasal dari Dinas Pariwisata Kab Raja Ampat. Agak lucu menurut gw kala itu. Setibanya kami di pelabuhan dan bersiap untuk berpindah perahu, beberapa kakak2 berpakaian batik rapih mendekati kami, kemudian berbicara panjang lebar tentang konservasi alam, pengembangan masyarakat, dan blablabla, yang diujungnya kami diwajibkan untuk membeli ‘Pin Raja Ampat’ yang merupakan  bagian dari partisipasi untuk konservasi alam dan lain sebagainya. sempat jadi perdebatan antara  kami dengan kakak2 dinas pariwisata  tentang penggunaan uang ‘pin Raja Ampat’ yang terkesan mahal banget. as u know aja, untuk mendapatkan ‘Pin Raja Ampat’ ini kami harus membayar sebesar Rp.250.000 dengan rincian Rp.75.000 untuk pembayaran retribusi uang leges, dan Rp.175.000 untuk pembayaran non retribusi (Raja Ampat Conservation and Community Development Fund) (ntuk wisatawan lokal, sedangkan untuk wisatawan asing ditarik Rp.350.000).  agak jadi pertanyaan ketika ada statement dari Dinas Pariwisata yang menyatakan bahwa sebagian uang nantinya akan didonasikan kepada NGO asing yang banyak bertebaran melakukan konservasi alam di Raja Ampat, seperti CAI, dan lainnya. Lucu kan, NGO koq dapet donasi dari pemerintah? Namanya NGO- non government organization ya aturan dapat dananya ya dari donasi sukarela. Kata gw,”berarti ni gw bayar buat bayarin NGO2 itu?ih.. enak banget,kita kasih uang untuk NGO2 asing begitu?” ,bener kan kata gw,truz orang dinpar jawab,”tapi kan ini juga untuk kebaikan raja ampat juga mbak. Karena mereka yang selama ini ngKonservasiin alam raja ampat?”, gw komentar lagi,”tapi mereka konservasi juga ada modus lho, konservasi dengan penelitian2 yang akhirnya mereka jual keluar. penelitian yang hasilnya kita sendiri gak ngerti.”mbaknya diem lama, masih sambil sibuk nulis kuitansi bukti pembayaran pin,”tapi uang Pin juga kami pakai sebagai pengembangan masyarakat mba…” katanya lagi. Langsung gw Tanya balik,”buktinya apa?pengembangan masyarakat seperti apa? Contohnya apa?”Tanya gw membabi buta, dan kakak Dinparnya pun terdiam gak bisa jawab. Dalam hati gw cuman bilang,”tes too…? Seberapa paham kalian tentang apa yang kalian pungut dari kami?bwahaha”. agak miris sebenernya kalo bicara masalah pin ini. kata kakAnca, guide kami, orang button yang sudah lama tinggal di Yenbesser,”gak usah beli pin juga gak papa sih sebenernya. Itu, bikin2nya orang dinpar aja. Pengembangan masyarakat?kami gak pernah tu dapet manfaat dari apa yang mereka pungut dari para wisatawan.”kata kakAnca agak gak terlalu peduli dengan “pin Raja Ampat” yang kata orang harus dipunyai sebagai tiket masuk Raja Ampat. Tapi, yaaah, ambil hikmahnya aja, kami jadi punya satu kenangan2 yang cuman dipunya kalo udah pernah ke raja ampat,”Pin RAJA AMPAT” yeeeiyyyy. Seperti kakRafii bilang juga,”bagaiamanapun kenyataannya  uang akan dikemanakan, yang pasti kita Wisatawan sudah ikut berpartisipasi dalam mengKonservasi Alam Raja Ampat dengan membeli Pin Raja Ampat, sebagai mana apa yang mereka katakana. Mo dikemanakan nanti uangnya, itu sudah jadi tanggung jawab mereka. to??”. Kata bang Rafii disuatu waktu sambil sibuk membersihkan kamera DSLR. 
pin raja ampat edisi 2014

“kami mencintai tanah ini, dimana kami ingin menikmati keindahannya yang mungkin tak akan abadi. Tapi kami berjanji akan tetap menjaganya, agar kelak, suatu saat nanti kami dapat kembali, bersama anak cucu kami dengan alam yang masih indah berseri.”

Selesai mengurus persyarakat memasuki wilayah taman Nasional Raja Ampat, kami melanjutkan perjalanan menuju pasar tradisional Waisai, berbelanja sayur mayur, bahan makanan dan logistic untuk hidup selama 5 hari di Yenbesser,dan berlanjut menuju kampung Yenbesser, dengan perahu yang sama. 
Belanja di pasar tradisional waisai


H-2, Jumat, 7 Maret 2014 : bermula dari Sejarah Raja Ampat
(location : Yenbesser – pulau Friwen – Pulau Pasir Timbul / pulau Roti - Yenbesser)

Terbangun dengan suara-suara burung burung dari balik hutan yang berada tepat dibelakang rumah singgah tempat kami tinggal. Gw bangkit dari lelap gw. Waktu menunjukkan pukul 06.00 pagi ketika satu persatu orang terbangun. Beberapa sudah menghilang entah kemana berjalan untuk menikmati pemandangan disekitar rumah singgah. Beberapa yang lain sibuk di dapur untuk mempersiapkan sarapan  pada pagi hari itu, dan beberapa lainnya lebih memilih menikmati pagi dengan sekedar duduk-duduk sembari menyeduh kopi teh susu di teras rumah. Rumah singgah kami sederhana, sebuah rumah semi bata (setengah bata,setengah kayu), yang terdiri dari satu ruang tengah,satu dapur, satu kamar mandi, dan dua kamar tidur, yang  hampir sama dengan semua rumah yang ada di kampung Yenbesser, hasil pembangunan kampung yang didanai oleh dana Respek kampung.  Seorang lelaki paruh baya asli papua penduduk kampung yenbesser mengunjungi rumah kami dan obrolan pagi kami pun mengalir begitu saja. satu cerita tentang sejarah Raja Ampat, tentang asal mula nama itu muncul dan kemudian dikenal oleh masyarakat dunia…………….

Selesai menyantap tumis kangkung dan tempe tahu goreng sebagai menu sarapan pagi, kami bersiap untuk memulai petualangan kami mengeksplore taman nasional raja ampat. Hari itu, jalan-jalan dimulai dari Pulau Friwen, yang hanya berseberangan letaknya dengan kampung Yenbesser. Pulau Friwen, sebuah pulau kecil yang dihuni oleh beberapa penduduk memiliki pantai pasir putih yang pasirnya lembuuttt banget, kayak tepung kata orang-orang. Air lautnya yang jernih menampakkan biru hijaunya dasar laut. Cantik.
 
 
Puas bermain air di Friwen, kami berpindah menuju Pantai Pasir Timbul diseberang pulau Roti. Sekitar pukul  12.00an ketika air laut sudah surut, kapal kami berlabuh di pantai pasir timbul. Menikmati hamparan pasir putih yang hanya muncul ketika surut terjadi. Sebuah pantai pasir timbul dengan hamparan lautan dangkal yang biru, dengan koral-koral mungil yang masih banyak dihuni biota laut yang berwarna-warni.

with my Nikon AW100 by kakZeth & Josuwa
with my Nikon AW100 by kakZeth & Josuwa
  

tongsis kk Runny dan pulau gosong


 
by bayu ghahara

Tidak ada komentar: