Cerita PTT : Kwarja dan Kebersamaan Kami Bersama
“karena kehangatan tak harus berbicara tentang
dibalik selimut, cukup dengan berbagi waktu bersama di setiap waktu yang ada,
maka kehangatan itu menjadi lebih dari sekedar berbicara tentang di balik selimut
”
–dee,2015
Lebih dari 3 jam
berkendara menembus belantara hutan Taja untuk bisa menyentuh kampung Kwarja,
kampung terpencil di distrik kami. masyarakat Kwarja bisa dikatakan makin
terisolir oleh waktu. Kemajuan pembangunan tak serta merta membawa kemajuan
bagi masyarakat Kwarja. perpecahan di kalangan atas (antar ondoafi dan kepala
kampung), membuat masyarakat semakin terpecah. Meski tanpa ada peperangan
seperti di banyak tempat di pedalaman papua, perpecahan tersebut tak berdampak
baik bagi masyarakat Kwarja sendiri. Sebagian masyarakat yang memilih untuk
keluar kampung dan mendekati modernitas ‘kota’ Taja, terseok oleh tekanan dan
tuntutan hidup yang meningkat. Sebagian yang lain, memilih untuk hidup jauh di
dalam hutan, meninggalkan kampung, mengikuti ‘bapak mantan’ yang sudah dianggap
‘ondoafi’ bagi mereka. kata mereka,”kampung
su trada apa-apa. Tong makan susah di kampung, lebih baik di hutan ikut bapa
mantan, tong cari makan mudah, berburu juga mudah”. Keputusan yang membuat
sebagian dari mereka ini semakin terisolir, dan semakin tak terjangkau.
Pelayanan mobile clinic
yang kami lakukan, merupakan agenda rutin bulanan (meski tidak setiap bulan)
puskesmas untuk menjangkau masyarakat yang memang sangat jarang tersentuh oleh
petugas kesehatan. Semakin berkurangnya mobilitas masyarakat kwarja keluar
kampung, membuat akses jalan menjadi semakin tertutup. Jika setahun yang lalu
saat musim hujan kami jatuh bangun dari motor lantaran medan yang sangat becek,
berlumpur, kini jalanan semakin tak nampak seperti jalan oleh karena dipenuhi
oleh ilalang dan pepohonan yang lebat, ditambah banyaknya jembatan-jembatan
yang sudah roboh, tergerus oleh aliran2 sungai yang ada dibawahnya. Perjalanan
ke kwarja yang seharusnya singkat, menjadi lama lantaran sering kali harus
terhenti membuka jalan, membersihkan ilalang, atau baku dorong dan baku angkat
motor di jembatan jembatan yang nyaris ambrol dan sulit untuk ditempuh.
harus turun dari motor sambil dorong untuk bisa nyebrang jembatan yg seadanya |
Tapi gak ada perjalanan sia sia. Setelah melalui perjalanan panjang yang melelahkan, dengan terik matahari yang bersinar, kami tiba di kampung kwarja. daaan, kampung jauh jauh lebih sepi disbanding waktu setahun yang lalu. Hanya ada kurang lebih 4 kk, dengan kurang lebih 10 orang mama-mama dan anak-anak., yap, didominasi mama-mama lantaran banyak bapak2 memilih tingga di hutan. Berburu dan mencari makan. Banyak rumah-rumah kosong dengan halaman yang dipenuhi oleh ilalang-ilalang tinggi. Pustu (puskesmas pembantu) kami pun nyaris tak nampak dari jalan lantaran rumput-rumput yang tumbuh tinggi melebihi tingginya pohon pisang yang ada. Sungguh, semuanya nampak tak terawat.
Sejenak beristirahat dan
menyantap makan siang, kami membersihkan seluruh area pustu. Mengecek kondisi2
ruangan dan segala stok obat yang ada. rumah kosong lama, jadi wajar butuh
waktu yang cukup lama untuk membersihkan rumah papan dengan luas sekitar 10 x 5
meter ini. drum penampung air pun kosong
lantaran bagian sambungan air yang putus (entah karena apa). Sore itu, sebelum
matahari terbenam kami pun memutuskan untuk mandi di sungai dekat pustu
sekaligus mengambil air untuk persediaan air kami hingga esok siang. Senja yang indah di kampung kwarja….
Keesokan harinya kami
barulah melakukan pelayanan kesehatan setelah sebelumnya 'kasih suara' ke
masyarakat bahwa kami tiba di Kwarja. sekitar pukul 09.00 siang satu persatu
masyarakat kwarja datang. meskipun tak sakit, mereka selalu datang ke pustu
kami ketika kami datang. yah, kalopun gak berobat, paling tidak ada makanan,
rokok, ataupun kopi yang bisa dibagi. Itulah masyarakat di sini. dulu, di awal
kedatangan petugas kesehatan, selain membawa obat-obatan, kami selalu membawa
‘bahan kontak’ bahan untuk kontak dengan masyarakat. biasanya yang kami bawa adalah sabun cuci,
sabun mandi, dan rokok kupu (merek rokok linting di sini, favoritnya orang
kwarja, gak laki, gak perempuan). Lucu kan, petugas kesehatan tapi bahan kontak
yang dibawa adalah rokok. Tapi, begitulah disini. Dulu, hal tersebut adalah
yang dipakai agar masyarakat mau datang ke pustu. Sekarang, jadi kebiasaan. Dan
setiap pelayanan kami pasti membudgetkan dana untuk membeli bahan kontak, yang
secara perlahan diubah bahan kontaknya, selain sabun mandi dan sabun cuci, kami
membawa kopi, dan snack untuk anak-anak. itulah makanya mereka selalu akan
mendatangi ketika kami datang. beruntung kali itu tak ada masyarakat yang sakit
keras. Alhamdulillah sehat semua. Hanya satu dua anak yang batuk pilek (dengan
‘ingus sebelas’ nya^^) dan seorang mama yang kena osteoarthritis. anak-anak
balita pun kami kumpulkan, kami data pertumbuhannya dan kemudian kami bagikan
biscuit MP-ASI yang memang sudah kami persiapkan sebelumnya. Vitamin A pun dibagikan
sesuai dg dosis anjuran.
Bidan henny bidan SP V
yang ikut dengan kami, bertugas mendata ibu hamil yang ada. Hanya ada dua ibu
hamil. Seorang di kampung tua (dan sedang hamil tua, dan sangat tak mungkin
untuk kami kunjungi kesana –jauuh) dan seorang yang saat itu ada sedang hamil 5
bulan dan dalam kondisi yang baik. Bidan henny menyarankan untuk berpindah ke
kampung jembatan dua (masuk wilayah kampung SP V) agar persalinannya bisa
dibantu olehnya. Di kwarja, masyarakat masih membiarkan ibu-ibu hamil mereka
untuk lahir di hutan. Jika si ibu sudah mulai merasa kontraksi di perut, maka
dia akan pergi ke hutan, sendirian, disebuah gubuk (yang bahkan hanya berupa
para-para beratap daun sagu kering) hingga bayinya lahir, baru kemudian kembali
ke kampung. Inilah yang menyebabkan angka kelahiran bayi tanpa bantuan nakes di
kwarja masih tinggi, selain gak ada petugas kesehatan, kesadaran masyarakatnya
pun masih kurang. maunya si ada nakes di kwarja, tapi dengan sarana prasana yang
minim, keamanan yang belum tentu terjamin, akses apapun yang susah, dan
masyarakat yang jumlahnya pun sangat sedikit, agak berat juga mo menempatkan
petugas di sini. siapa yang mau di sini, di tengah hutan, tanpa listrik, tanpa
sinyal, tanpa air!, pengabdian si pengabdian, tapi kalo harus dengan nyawa
sebagai taruhannya, enggak deh, nanti dulu.
Itu pulalah yang membuat kami sepakat untuk sering-sering datang
melakukan pelayanan, meski hanya sehari dua hari, kami berusaha untuk tetap
men’cover’ masyarakat kami ^^
Tak lama melakukan
pelayanan kesehatan, kami berkumpul di teras
pustu. Sekedar duduk-duduk, berbagi cerita, dan berbagi informasi.
Seikat besar buah pinang dari seorang masyarakat membuat acara duduk duduk ini
menjadi semakin mengasyikkan. Kopi, pinang, dan percakapan omong kosong
adalah slogan hidup di sini. dan
semuanya pun asik mengunyah buah pinangnya masing-masing dengan obrolan tawa
sana sini. siro, paman yos, pak hendra, kak Wilson. Semuanya pun ikutan ngunyah
pinang. “hmmm, pengen coba… boleeh??” Tanya gw duduk mengamati buah pinang yang
nampak menggoda selera. “jiiz., dokter,
tra usah coba sudah. Dulu coba muntah truz mabok begitu moo.. tra usah sudah”
kak Wilson yang pernah ngliat gw mabok pinang melarang keras gw. tapi hijaunya
buah pinang terasa sungguh menggoda. Masak si gw gak bisa makan pinang? Udah
setahun lebih, papeda, sagu bakar, bahkan ulat sagu aja lewat. Cuman buah merah
ama pinang aja yang belum bisa masuk dimulut. Dulu coba buah merah muntah2,
pinang pun demikian, sampai pusing-pusing dan bicara meracau kayak orang gila.
Tapi, gw rasa, bisa gw makan pinang. “ iyo
dokter, harus coba to.. tra papa, mungkin dulu pinangnya jelek, ini pinang
masih segar. Coba duluuu…” kata masyarakat yang diamini pak hendra dan
paman yos. Paman yos pun menyodorkan sebuah pinang padaku. Diajarilah cara
kupas buah pinang, dikasih pecah,baru kunyah-kunyah, beberapa orang biji pinang
ada yang dibuang, ada pula yang ikut dikunyah. Mulut gw pun langsung bergumul
dg pinang dimulut, moncong2 penuh dengan pinang dan ludah.”whoni bwagwenmwana
mwakwannya..”kata gw dg mulut penuh, dan muka kecut, aneh rasanya. “jiz, dokter
buang ludah dulu, baru kunyah lagi” kata siro ngliat gw yang kayak kesusahan.”cuuih…”gw
buang ludah, “lah, koq gak merah??” gw bingung. “lah, kan belum pake kapur.
Nii… pake kapurnya” kak Wilson nyodorin sirih dan kapur. Gw pun mengikuti
intruksi2 mereka, cocol sirih pada kapur, truz memasukkannya ke dalam mulut,
digigit dikit tapi jangan sampe kena lidah karena rasanya akan panas nantinya.
Gw kunyah, kunyah, dengan muka masam lantara rasanya aneh, sedikit, sedikit,
kemudian seorang bocah berteriak,”dokter pu mulut merah!!” ha, iya, merah? Gw
coba buang ludah, dan tradaa, merah betull. Wuooh, keren, keren. Gw pun
berusaha melanjutkan kunyah pinang, berusaha menikmatinya, hingga tiba-tiba,
hoeeek.... muntah semua isi perutku. Orang orang panic, mantra gw nyariin gw
minum, tapi gwnya malah ketawa lepas. Ternyata emang belum bisa jadi orang
papua. “sudah, sudah, tra usah coba lagi.
dokter su dikasih tau baru. Nanti mabok di jalan tong yang susah..”kak
Wilson ngomel2. Gw cuman cengengesan, ya elah, cuman muntah karena pinang moo…
fam nisab, masyarakat asli kwarja |
Siang itu, kami habiskan
waktu untuk bersenda gurau hingga panas terik siang terasa semakin menyengat
mengajak kita untuk bergegas keluar hutan. “mumpung
panas, daripada tong jadi makin malas, ayo sudah jalann” kata kak Wilson.
Kamipun berberes, menyisihkan bama yang tersisa untuk mama-mama dan kemudian berpamitan.
Hari
yang singkat, tapi sekali lagi, tersisa satu kesan dalam hari dimana kami bisa
berbagi cerita dan tawa bersama. (oct 2014)halaman depan pustu kwarja |
ketika meninggalkan pustu |
istirahat dalam perjalanan pulang di sebuah gubug di jembatan dua |
beradu dalam ketukan yg tak beraturan *dalam perjalanan pulang |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar