Timika pu Cerita (1) : Bahagia karena Tuhan
di suatu
waktu pada suatu tempat. Dimana untuk pertama kalinya gw belajar, bahwa dalam
sebuah perjalanan, terkadang, bukan destinasi yang kita cari. Makna hidup, arti
hidup, dan pembelajaran hidup. Pada suatu waktu, pada suatu tempat yang tak
tanpa gw sangka, gw menemukan satu cerita lain tentang kehidupan.
Namanya
Friska. Friska Simanjuntak. Seorang kawan,yang baru beberapa waktu kukenal,
dalam sebuah ketidaksengajaan di sebuah perjalanan, di wamena. Dan, tak lama
berselang, gw berkunjung ke tempatnya bekerja, Timika. Kata banyak orang,
Timika bukanlah suatu kota destinasi wisata. Sebagian besar orang mengunjungi
Timika untuk urusan pekerjaan, dan uang. Freeport, menjadi salah satu focus
utamanya. Seperti kata friska,” mo kemana
tut?? Di sini gak ada apa-apa si. Mo lihat suku aslinya juga susah, harus ke
pedalaman. paling di sini yang special yang sekolahanku. Jadi, kita maen ke
sekolahku saja yak…”. Dan, begitulah, maka kemudian, sekolah friska menjadi
satu cerita yang tertinggal dari Timika.
Sekolah
Asrama Taruna Papua merupakan sekolah asrama yang dikelola oleh suatu yayasan
yang merupakan bagian dari CSR Freeport. Sekolah yang dikhususkan untuk anak
suku Amungme, Kamoro, dan 7 suku asli Timika memang dibuat dengan tujuan untuk memberikan pendidikan yang berkualitas
bagi anak-anak suku Asli. Friska, menjadi salah satu pengajar di sana. eh,
lebih tepatnya, Pustakawannya,alias Librarian. Bukunya, banyaaakk, banyaak yaa.
Dan pada minggu itu, sekolah friska sedang punya hajat. Pekan olahraga dan
pekan buku yang menjadi agenda tahunan di setiap bulan oktober. Di pekan- pekan
ini, anak-anak akan mengikuti berbagai macam lomba, seperti lomba membaca,
lomba bercerita, dan berbagai pentandingan olahraga, termasuk catur. Anak-anak
juga ditantang dengan berbagai macam lomba yang menguji kekreativitasan. dan di
pekan terakhir menjadi acara puncak untuk menampilkan berbagai macam atraksi di
panggung sekaligus puncak untuk mengumumkan juara dari lomba yang sudah
diselenggarakan. Hari itu, aktivitas belajar mengajar dipersingkat. Kegiatan
lebih banyak digunakan untuk mempersiapkan acara puncak yang akan dilakukan
dihari berikutnya.
pekan Olah raga sekolah Taruna Papu |
belajar bermain angklung
yang baru beberapa hari dilatih oleh seorang guru.
guru seni
|
Taking picture…. |
Tapi
perjuangan ini bukan hanya untuk diri mereka sendiri. apakah mereka egois?
Mungkin, entahlah. Tapi, ada satu yang berbeda yang gw temuin dari mereka.
perjuangan, bukan hanya untuk hidup mereka, tapi untuk hidup, dan masa depan
anak didik mereka di sekolah Taruna. bekerja dari pukul 7.30 pagi hingga 3 sore
atau bahkan lebih (bahkan nyari 24 jam untuk orang tua asuh –yang menjaga
mereka di asrama). Mendidik anak-anak papua, yang terkadang, belum mengerti
bahasa Indonesia. mendidik anak-anak yang bahkan tak mengerti tentang norma dan
tata krama. Mendidik anak-anak yang mungkin tak pernah didik oleh orang tuanya
sendiri, atau nyaris dibuang oleh orang tuanya. Mendidik anak-anak yang…. Hm,
bukan bermaksud mendiskriminasi, namun pada usia yang sama, terkadang anak-anak
di sini, lebih tak mengerti apa-apa disbanding dengan anak-anak seusia di Jawa.
Tidak semua, tapi masih banyak *unevidencebased. Kata seorang guru, “umurnya mungkin sudah 9 tahunan, tapi membaca menulis saja tidak tau.
Terkadang berbahasa saja masih kesulitan.”. mudah? Tentu tidak. Tak hanya itu,
guru-guru di sini dituntut untuk selalu kreatif. mengajarkan mata pelajaran dengan metode yang
berbeda agar mudah untuk ditangkap oleh anak-anak. mengajarkan dengan
kreativitas yang sering kali tersendat oleh keterbatasan sarana dan media
(maklum, papua, semuanya serba terbatas. Media belajar dan lain2 kalo tidak
dikirim dari Jawa, ya harus dibuat sendiri oleh guru-guru). tidak
sekonvensional dengan sekolah-sekolah negeri yang ada, guru hanya mengajar,
memberi soal, dan menuntut anak untuk mendapat nilai bagus, tanpa memahami
karakter masing-masing anak murid (itu yang gw pahami semasa gw sekolah dulu).
Tapi, mereka berbeda. Bukan hanya mengajar, tapi mereka mendidik. Tidak hanya pelajaran,
tapi juga etika, mendidik tidak hanya untuk nilai yang baik, tapi untuk menjadi
manusia yang sebenarnya *ah, semoga gw gak berlebihan. Mudah? Tentu tidak. Tapi
mereka, berusaha, mereka berupaya.
Terkadang gw berpikir, apa yang mereka cari di
sini?? apakah itu materi? Apakah itu sebuah kemapanan? Apakah itu sebuah masa
depan? Dan apakah mereka bahagia ??? entahlah. Ketika gw nanya pada bu guru
cantik Mia,”kakak bahagia gak??”,
dirinya terdiam, berfikir, kemudian menjawab dengan nada yang lembut,” saya rasa saya bahagia di sini”,
senyumnya mengembang, tulus. Gw mengernyit. Hampir sebagian besar orang ketika
ditanya apakah mereka bahagia, pasti jawaban pertama mereka,”bahagia…”, dan
kemudian tidak berapa lama berlanjut dengan,”tapi…blablabla”, kata ‘tapi’ yang
mencerminkan masih ada sisa bagian yang ‘tidak bahagia”. Gw menunggu jawaban
lanjutan si kakak. Melihat gw nampak masih bertanya-tanya, dirinya tersenyum, “saya cukup bahagia di sini” katanya
dengan pasti. “ dan apa yang buat kakak
bahagia?” Tanya gw berlanjut. Kali ini dirinya terdiam cukup lama,
berpikir. Kemudian dirinya kembali tersenyum, senyum yang menurut gw bisa bikin
orang meleleh *melting deh gw. “karena panggilan Tuhan. Saya bahagia, karena
Tuhan kasih saya kesempatan di sini untuk mendapatkan panggilanNya …” terangnya
dengan nada yang lembut dan tenang. Tiba-tiba angin yang berhembus lembut,
membawa kesejukan yang damai, seakan seperti di tepian pantai sepi dengan
sepoian nyiur kelapa, damai. gw termenung. Panggilan Tuhan. Jawaban yang
sederhana, tapi tak mudah untuk diucapkan. Banyak orang yang gw tanya tentang
alasan bahagia adalah karena faktor duniawi, entah karena tempatnya enak,
lingkungan yang bagus, aman, pendapatan yang baik, dan blablabla. Tapi, Jika
Bahagia adalah Karena Ada karena Panggilan Tuhan??? Hhhm, it’s hard to explain.
Kebahagiaan tingkat tinggi ini. kebahagian spiritual. Gw tersenyum. I got it!
Benar, ada sesuatu yang berbeda di tempat ini. suatu kedekatan spiritual dengan
Tuhan yang membuat mereka bekerja, (mungkin), berbeda dengan yang lain. bekerja
sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan. Mengutip kata bu Evi, kepala sekolah
Taruna Nusantara Papua ini,”bekerja
karena panggilan Tuhan, bekerja untuk melayani Tuhan”… hmmm.... suatu
ketulusan hati lah gw rasa yang membawa mereka pada suatu kebahagiaan
tersendiri. Dan itulah, mungkin yang kurasa gw menemukan satu kebahagaian di
tempat ini. oleh mereka, guru-guru, yang mungkin asing di tempat yang asing,
menjadi suatu keluarga, menjadi guru, sekaligus ayah dan ibu, bagi anak-anak
suku asli. Mereka, yang mungkin tanpa mereka sadari, mengajarkan gw tentang
banyak hal. Mereka juga manusia, mereka bisa lelah, mereka bisa marah, mereka
bisa bersedih, mereka juga bisa melakukan kesalahan. namun, ketulusan itu tak
dapat dipungkiri, tentang bagaimana mereka mendidik, tentang bagaimana mereka
berkarya bersama anak-anak, tentang bagaimana mereka berbagi waktu bersama,
tentang bagaimana mereka berbagi cerita, tentang bagaimana mereka berbagi
senyum dan tawa. Tentang masa-masa yang mungkin kelak akan meninggalkan banyak
arti, bagi mereka sendiri, bagi anak-anak suku asli, dan tanpa segaja, bagi
diriku sendiri.
Perjalanan
terkadang tak melulu berbicara tentang kemana kita pergi. Perjalanan ini
mengajarkan gw bahwa, akan selalu ada cerita dalam setiap langkah yang kita
ambil, apapun itu… entah pahit, entah manis. bahwa perjalanan adalah guru yang
membuat kita belajar lebih tentang kehidupan.
Enamoware
enamoware
Seosemea
enamoware
Amungme
naibugo inago nemangkawie
Seosema
moagan taman moagan’sompawiare
Tidak ada komentar:
Posting Komentar