Selasa, 30 Juni 2015

Timika pu Cerita (1) : Bahagia karena Tuhan



 Timika pu Cerita (1) : Bahagia karena Tuhan

di suatu waktu pada suatu tempat. Dimana untuk pertama kalinya gw belajar, bahwa dalam sebuah perjalanan, terkadang, bukan destinasi yang kita cari. Makna hidup, arti hidup, dan pembelajaran hidup. Pada suatu waktu, pada suatu tempat yang tak tanpa gw sangka, gw menemukan satu cerita lain tentang kehidupan.

Namanya Friska. Friska Simanjuntak. Seorang kawan,yang baru beberapa waktu kukenal, dalam sebuah ketidaksengajaan di sebuah perjalanan, di wamena. Dan, tak lama berselang, gw berkunjung ke tempatnya bekerja, Timika. Kata banyak orang, Timika bukanlah suatu kota destinasi wisata. Sebagian besar orang mengunjungi Timika untuk urusan pekerjaan, dan uang. Freeport, menjadi salah satu focus utamanya. Seperti kata friska,” mo kemana tut?? Di sini gak ada apa-apa si. Mo lihat suku aslinya juga susah, harus ke pedalaman. paling di sini yang special yang sekolahanku. Jadi, kita maen ke sekolahku saja yak…”. Dan, begitulah, maka kemudian, sekolah friska menjadi satu cerita yang tertinggal dari Timika.


Sekolah Asrama Taruna Papua merupakan sekolah asrama yang dikelola oleh suatu yayasan yang merupakan bagian dari CSR Freeport. Sekolah yang dikhususkan untuk anak suku Amungme, Kamoro, dan 7 suku asli Timika memang dibuat dengan tujuan  untuk memberikan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak suku Asli. Friska, menjadi salah satu pengajar di sana. eh, lebih tepatnya, Pustakawannya,alias Librarian. Bukunya, banyaaakk, banyaak yaa. Dan pada minggu itu, sekolah friska sedang punya hajat. Pekan olahraga dan pekan buku yang menjadi agenda tahunan di setiap bulan oktober. Di pekan- pekan ini, anak-anak akan mengikuti berbagai macam lomba, seperti lomba membaca, lomba bercerita, dan berbagai pentandingan olahraga, termasuk catur. Anak-anak juga ditantang dengan berbagai macam lomba yang menguji kekreativitasan. dan di pekan terakhir menjadi acara puncak untuk menampilkan berbagai macam atraksi di panggung sekaligus puncak untuk mengumumkan juara dari lomba yang sudah diselenggarakan. Hari itu, aktivitas belajar mengajar dipersingkat. Kegiatan lebih banyak digunakan untuk mempersiapkan acara puncak yang akan dilakukan dihari berikutnya.
 
pekan Olah raga sekolah Taruna Papu


 belajar bermain angklung yang baru beberapa hari dilatih oleh seorang guru.
 guru seni

Taking picture….
membantu ibu guru menempelkan foto dokumentasi

Gak ada sesuatu yang special dari sekolah asrama ini. mungkin, sama dengan sekolah asrama lainnya, ditempat lain. tapi, hm, apa ya?? gw merasa, ada sesuatu yang berbeda. Sebagian besar pengajar yang ada di sekolah asrama ini adalah pendatang, sebagian besarnya lagi datang dari jawa. ‘didatangkan’ dari jawa, dengan latar belakangan pendidikan yang tak sembarangan. Tapi, pertanyaannya kenapa mereka mau, jauh2 mengajar di sini??? timika bukanlah kota besar. meski sudah bersinyal dan berlistrik, timika tetaplah papua, dengan banyak keterbatasan sarana, dan riskan oleh konflik. Timika, kota kecil bergeliat, namun masih terlalu rawan, mudah memanas, dan sering terjadi pertikaian dan penembakan. Aman? Tentu tidak sepenuhnya. Tapi, seperti banyak orang yang memutuskan untuk berhijrah, seperti pada banyak orang yang merantau, Mereka bertaruh. Ada pertaruhan yang mereka lakukan untuk hidup mereka. sebuah perjuangan.
Tapi perjuangan ini bukan hanya untuk diri mereka sendiri. apakah mereka egois? Mungkin, entahlah. Tapi, ada satu yang berbeda yang gw temuin dari mereka. perjuangan, bukan hanya untuk hidup mereka, tapi untuk hidup, dan masa depan anak didik mereka di sekolah Taruna. bekerja dari pukul 7.30 pagi hingga 3 sore atau bahkan lebih (bahkan nyari 24 jam untuk orang tua asuh –yang menjaga mereka di asrama). Mendidik anak-anak papua, yang terkadang, belum mengerti bahasa Indonesia. mendidik anak-anak yang bahkan tak mengerti tentang norma dan tata krama. Mendidik anak-anak yang mungkin tak pernah didik oleh orang tuanya sendiri, atau nyaris dibuang oleh orang tuanya. Mendidik anak-anak yang…. Hm, bukan bermaksud mendiskriminasi, namun pada usia yang sama, terkadang anak-anak di sini, lebih tak mengerti apa-apa disbanding dengan anak-anak seusia di Jawa. Tidak semua, tapi masih banyak *unevidencebased.  Kata seorang guru, “umurnya mungkin sudah 9 tahunan, tapi membaca menulis saja tidak tau. Terkadang berbahasa saja masih kesulitan.”. mudah? Tentu tidak. Tak hanya itu, guru-guru di sini dituntut untuk selalu kreatif.  mengajarkan mata pelajaran dengan metode yang berbeda agar mudah untuk ditangkap oleh anak-anak. mengajarkan dengan kreativitas yang sering kali tersendat oleh keterbatasan sarana dan media (maklum, papua, semuanya serba terbatas. Media belajar dan lain2 kalo tidak dikirim dari Jawa, ya harus dibuat sendiri oleh guru-guru). tidak sekonvensional dengan sekolah-sekolah negeri yang ada, guru hanya mengajar, memberi soal, dan menuntut anak untuk mendapat nilai bagus, tanpa memahami karakter masing-masing anak murid (itu yang gw pahami semasa gw sekolah dulu). Tapi, mereka berbeda. Bukan hanya mengajar, tapi mereka mendidik. Tidak hanya pelajaran, tapi juga etika, mendidik tidak hanya untuk nilai yang baik, tapi untuk menjadi manusia yang sebenarnya *ah, semoga gw gak berlebihan. Mudah? Tentu tidak. Tapi mereka, berusaha, mereka berupaya.
Terkadang gw berpikir, apa yang mereka cari di sini?? apakah itu materi? Apakah itu sebuah kemapanan? Apakah itu sebuah masa depan? Dan apakah mereka bahagia ??? entahlah. Ketika gw nanya pada bu guru cantik Mia,”kakak bahagia gak??”, dirinya terdiam, berfikir, kemudian menjawab dengan nada yang lembut,” saya rasa saya bahagia di sini”, senyumnya mengembang, tulus. Gw mengernyit. Hampir sebagian besar orang ketika ditanya apakah mereka bahagia, pasti jawaban pertama mereka,”bahagia…”, dan kemudian tidak berapa lama berlanjut dengan,”tapi…blablabla”, kata ‘tapi’ yang mencerminkan masih ada sisa bagian yang ‘tidak bahagia”. Gw menunggu jawaban lanjutan si kakak. Melihat gw nampak masih bertanya-tanya, dirinya tersenyum, “saya cukup bahagia di sini” katanya dengan pasti. “ dan apa yang buat kakak bahagia?” Tanya gw berlanjut. Kali ini dirinya terdiam cukup lama, berpikir. Kemudian dirinya kembali tersenyum, senyum yang menurut gw bisa bikin orang meleleh *melting deh gw.  karena panggilan Tuhan. Saya bahagia, karena Tuhan kasih saya kesempatan di sini untuk mendapatkan panggilanNya …” terangnya dengan nada yang lembut dan tenang. Tiba-tiba angin yang berhembus lembut, membawa kesejukan yang damai, seakan seperti di tepian pantai sepi dengan sepoian nyiur kelapa, damai. gw termenung. Panggilan Tuhan. Jawaban yang sederhana, tapi tak mudah untuk diucapkan. Banyak orang yang gw tanya tentang alasan bahagia adalah karena faktor duniawi, entah karena tempatnya enak, lingkungan yang bagus, aman, pendapatan yang baik, dan blablabla. Tapi, Jika Bahagia adalah Karena Ada karena Panggilan Tuhan??? Hhhm, it’s hard to explain. Kebahagiaan tingkat tinggi ini. kebahagian spiritual. Gw tersenyum. I got it! Benar, ada sesuatu yang berbeda di tempat ini. suatu kedekatan spiritual dengan Tuhan yang membuat mereka bekerja, (mungkin), berbeda dengan yang lain. bekerja sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan. Mengutip kata bu Evi, kepala sekolah Taruna Nusantara Papua ini,”bekerja karena panggilan Tuhan, bekerja untuk melayani Tuhan”… hmmm.... suatu ketulusan hati lah gw rasa yang membawa mereka pada suatu kebahagiaan tersendiri. Dan itulah, mungkin yang kurasa gw menemukan satu kebahagaian di tempat ini. oleh mereka, guru-guru, yang mungkin asing di tempat yang asing, menjadi suatu keluarga, menjadi guru, sekaligus ayah dan ibu, bagi anak-anak suku asli. Mereka, yang mungkin tanpa mereka sadari, mengajarkan gw tentang banyak hal. Mereka juga manusia, mereka bisa lelah, mereka bisa marah, mereka bisa bersedih, mereka juga bisa melakukan kesalahan. namun, ketulusan itu tak dapat dipungkiri, tentang bagaimana mereka mendidik, tentang bagaimana mereka berkarya bersama anak-anak, tentang bagaimana mereka berbagi waktu bersama, tentang bagaimana mereka berbagi cerita, tentang bagaimana mereka berbagi senyum dan tawa. Tentang masa-masa yang mungkin kelak akan meninggalkan banyak arti, bagi mereka sendiri, bagi anak-anak suku asli, dan tanpa segaja, bagi diriku sendiri.
Perjalanan terkadang tak melulu berbicara tentang kemana kita pergi. Perjalanan ini mengajarkan gw bahwa, akan selalu ada cerita dalam setiap langkah yang kita ambil, apapun itu… entah pahit, entah manis. bahwa perjalanan adalah guru yang membuat kita belajar lebih tentang kehidupan.

Enamoware enamoware
Seosemea enamoware
Amungme naibugo inago nemangkawie
Seosema moagan taman moagan’sompawiare

Tidak ada komentar: