Cerita PTT : masih sekedar Bercuap
KDRT
Minggu pagi di rudin
puskesmas. Baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah ketika seorang nona datang
ke rumah. “dokter bisa tolong sa pu mama
kah… ?? darah tra mau berhenti dari dong pu kepala”kata nona itu. Gw kenal
nona ini. nona wamena yang sering antar ‘dong pu masyarakat’ buat berobat
sambil jadi ‘translator’ beberapa mama-mama yang masih sulit berbahasa
Indonesia. Kali ini,dirinya datang membawa seorang mama yang ternyata mama nya
sendiri. darah terlihat membasahi kaos yang menutupi kepalanya. Ketika gw buka
kain penutup, darah bercucuran keluar dari luka yang cukup lebar.
“mama kena apa kah??” Tanya gw sambil
bersihin dong pu luka. “pace pukul tadi pagi..”. jawabnya datar. huff,
KDRT.,” kenapa mama bisa sampe dapat
pukul kah? Mama bikin salah??’’ Tanya gw lagi. dan mama pun menjelaskan
panjang lebar bercampur dengan dong pu bahasa yang membuat gw jadi setengah tak
paham. Gw hanya mengangguk. Apappun kesalahan yang mama buat, gw rasa,
seharusnya tidak ada itu istilah kekerasan hingga berdarah-darah sedemikian
rupa. Kekerasan yang membuat luka yang bahkan butuh waktu nyaris satu jam untuk
menjahitnya.. *huff.
Sekali lagi. kekerasan
rumah tangga. Dari luka lebam, luka robek, hingga patah tulang. Bukan cuman
kali pertama gw harus jahit kepala mama-mama yang robek dipukul ‘dong pu pace , ‘dong pu paitua’ (baca :suami mereka). kekerasan rumah tangga,
sekali lagi, dan lagi, dan tak pernah berhenti. teringat kata seorang kawan,
seorang mama papua, bercerita suatu ketika, “ begini sudah, orang papua. kitong ni mama-mama yang jadi tulang
punggung. Dorang (lakilaki) tu tra tau kerja. Kitong ni yang setiap hari
berkebun, cari uang, di rumah harus urus anak suami, bikin makan,
bersih-bersih. Dorang tu hanya tau duduk, makan pinang, merokok sama bicara
omong kosong saja. kalo tong su bikin salah sedikit, tong yang dapat pukul”.
Dan waktu kutanya, “kenapa tidak melawan
kah??’. Dan jawabannya rata-rata ‘tidak
berani ya..”. Perempuan, di kelompok masyarakat tertentu masi dianggap
berada di bawah laki-laki. Manusia no.2. laki-laki yang tidak sempurna. didiskriminasi
dan diinjak-injak.
Mama hanya nampak
terdiam. Tidak nampak mengeluh. Tidak nampak menangis. Padahal luka di
kepalanya cukup dalam. Mungkin kalo kejadian itu terjadi ke gw, ato perempuan
lain, mungkin udah menangis darah. menangis menangis, atau paling tidak
marah-marah, ato balas pukul (itu kalo gw kali yeee..). apapun itu, pasti bakal
diluapin dg emosi. That’s why, they called woman. Tapi mama hanya terdiam.
Diam. Hanya sesekali mengeluh pusing karena perdarahan yang ditimbulkan dari
luka sulit dikendalikan. luka yang sungguh dalam. Meski luka di kepala bisa terobati dengan jahitan ataupun
obat-obatan, ‘luka’ yang ditimbulkan, trauma yang ditimbulkan oleh karena
kekerasan yang dilakukan oleh orang yang dipercayaikan, oleh orang yang
(mungkin) dicintainya, oleh suaminya, tak akan mudah untuk terobati. Meski mama
hanya terdiam, dalam pancaran matanya yang redup, terlihat derita yang
dipendamnya, rasa sakit yang tak diungkapkannya.
Laki-laki, kuharap
mereka mengerti. Menyakiti wanita, bukanlah satu hal bisa dibanggakan. Tak ada
kekerasan, tak ada lagi kata menyakiti. dimana pun itu, siapapun itu. Even the toughest woman, they are still a
woman. (010315 15.50)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar