Cerita Kerinci : day 3-4 : setelah setahun vakum mendaki (part 2)
4Mei 2015
Sekitar pukul 05.00 pagi kami
memutuskan untuk memulai perjalanan menuju puncak. 2 jam lebih terlambat dari
waktu awal yang direncanakan, yaitu pukul 03.00 dini hari. Cuaca benar-benar
buruk, meski tak hujan, badai dan angin yang kencang punya resiko untuk membawa
badai yang lebih hebat lagi. hingga ketika cuaca dirasa mulai membaik, kami
sepakat untuk melanjutkan perjalanan. tak semuanya bergabung, kak adhie yang
kondisinya kurang fit,memilih untuk stay. Demikian pula dengan firman.”mann, naik gak?”tanya berry, dan
firman gak merespon. Kak essa juga sama, memilih mendekam di dalam sleeping
bagnya. Hanya gw, kang usman, dan berry yang fix untuk muncak. Dua kk porter
pun akhirnya berbagi tugas, kak rully tetap stay dg kawan yang tinggal, dan kak
Ade yang nemenin kami bertiga.
antara purnama, gunung, dan cerita kita |
Jalur dari shelter II menuju
shelter III merupakan jalur tersulit dari pendakian Kerinci. Bukan hanya
sekedar mengangkat kaki tinggi tinggi, melainkan juga harus menggunakan kedua
tangan untuk memanjat. Pada batuan batuan berlumut yang dilalui dalam jalur.
Dan bagi gw yang punya kaki pendek, beberapa bagian benar-benar sulit untuk
digapai. Beberapa kali harus ditarik dari atas dan didorong dari bawah untuk
bisa mencapai batuan diatas dari yang dipijak. Beruntung pula cuaca hanya
berkabut tanpa hujan. Kalo hujan, sungguh, gak bisa dibayangkan betapa licinnya
medan tersebut yang itu berarti semakin sulit untuk dijangkau. Medan yang
dilalui hampir mirip dengan trekking dari pos 5 ke pos 7nya latimojong, yang
gak cuman mendaki tapi juga memanjat. Hanya bedanya kalo di latimojong yang
didaki cenderung batu-batu karang/ batu kapur, sedangkan di kerinci adalah
batu-batu tanah dan berlumut. Sesekali gw terjatuh dan terpeleset, terlepas
dari pijakan. Beberapa kali tersangkut gagal memanjat,”aargh, tunggu, tunggu.pantat gw gak mau ikutan naik..”teriak gw
ketika hendak memanjat, tapi malah jadi tergantung, karena gagal ngangkat ni
pantat. Gw rasa berat badan gw banyak fokus dipantat deh. Bukannya berusaha
ngangkat pantat, tapi malah tergantung sambil ketawa terpingkal, gak tau,
ngerasa ada yang kocak dan bego aja ni diri. Teringat banget waktu di
latimojong satu tahun yang lalu sampe punya nama panggilan baru,”ronno 29”
(ronno : jatuh, palopo language,red) karena jatuh terpeleset sampe lebih dari
29 kali. Dan kali ini pun, entah kenapa, gw termasuk yang paling sering
terpeleset, terjatuh, atau tersangkut -_-”.”tutut,
tutut.... ngapain si lo, dari tadi jatuh mulu, tersangkut mulu..”kata yang
lain, yang gw jawab dg meringis doank. Keberatan pantat kayaknya emang. Haha.
Hampir 70% medan dari shelter II
menuju shelter III adalah trekking memanjat, sisanya lebih mirip trekking dari
shelter I ke shelter II, yang itu berarti semuanya, capeeek. Hanya ada sedikit
jalur bonus, yang sering disebut sbg jalur tikus??? Yang jalurnya mirip kayak
gua, kanan kiri batu, diatasnya rimbun oleh rantai-rantai pohon yang kering.
Mendekati shelter III, jalur mulai nampak
terbuka, dengan sisi bagian kiri nampak pemandangan kresik tuo dari kejauhan.
Pun dari kejauhan ini nampak beberapa danau dan beberapa bukit serta perkebunan
teh yang terbentang luas dan cantiiik sekali (kalo pas gak kabut). Beruntung
kali itu kami tak terlalu dini hari trekking, mendekati shelter III cahaya
matahari mulai menyeruak memberikan pemandangan jauh yang cantik, dengan
sesekali dikelubuti oleh awan yang melintas. Cantik, cantik
Kami tiba di shelter III
sekitar pukul 06.30, 1 jam dari shelter 2. Lumayan lah untuk kaki pendek ini,
hoho. Perjalanan trekking kali ini memang kami sepakat untuk selalu berjalan
beriringan, tidak ada yang saling mendahului dan didahului. Jika ada yang
tertinggal, akan ditunggu. Kak ade yang paling depan, gw mengikuti dibelakang
dg kak yanti, kemudian kang usman, dan kak berry as sweepernya. tiba di shelter
III kami beristirahat sejenak, berisitirahat di tengah-tengah jalur untuk
sedikit menegak air, makan coklat, dan foto-foto disuasana sunrise (sedikit
lebih telat sih). Suasananya sepi kala itu.
Hanya kami berlima saja yang nampak sedang menuju puncak. Ada sih yang
sedang trekking ke atas, tapi jauuuh sekali, mungkin ketika kami dipertengahan,
mereka sudah sampai di puncak (sekitaran 3-4orang). Pemandangan puncak dari
shelter III pun sudah nampak dengan jelas. Hanya sesekali kabut melintas
menutupi puncak dari pandangan, sesekali nampak, kemudian menghilang.
Selepas istirahat, kami
melanjutkan perjalanan menuju puncak yang memiliki jalur yang berbeda dengan
jalur-jalur sebelumnya. jalur terbuka dengan medan berpasir dengan kanan kiri
jurang yang dalam. Hm, mengingatkanku pada pendakian Rinjani dari plawangan
sembalun menuju puncak Dewi Anjani. Hm,, dari awal udah tarik nafas
dalam-dalam.”kak, kira-kira berapa lama
ya nyampe puncak?”tanya gw ke kak ade.”hm,
paling 2 jam an. Target jam 8 lewat udh sampe puncak”kata kak ade
menjelaskan. Gw mengangguk, kemudian mengikuti langkahnya. Gak securam jalur
dari shelter II ke shelter III si, hanya trekkingnya teteuuup nanjaaaakk terus
gak berhenti-henti. Dan berpasir pula. Selangkah, dua lamgkah, pokoknya jalan
terus. Tapi, makin lama koq rasanya gak nyampe-nyampe ya? Padahal tu puncak
keliatan dari shelter III (keliatannya aja deket, nyatanya, hhhm.
Lupakan!). jalan gw udah mule
sempoyongan. Berry yang mulanya jadi sweeper akhirnya jadi paling depan berdua
ama kak Yanti. Agak jauh dari itu, baru usman, dan gw ama kak ade jadi yang
paling belakang. Di awal waktu berry nduluin gw,”jalan lo dah goyang gitu tut... kenapa lo? Dah capekk?mash kuat gak??’tanya
berry dengan sok coolnya setenagh meledek jalan melintas sambil tangan di
masukin ke dalam saku. Eergh, ni orang bikin dongkol deh, kitanya udah nafas
satu satu, jalan sempoyongan, pake bungkuk2, eh, dia nya sante aja jalan gitu.
Haiiizz. Tapi mungkin gitu ya, yang dah profe sama yang amatir, tetep beda nafasnya. Haha. Huf,
haff, huff, haff. Masih terus melangkah,
meski langkah dirasa semakin melamban.”mo dibantu jalan kah??” tanya kak ade
ketika gw udah mulai sering terpelest. Gw cuman meringis.”its ok kak,. Masih bisa jalan sendiri koq..”. kata gw. kak ade
merhatiin, dan cuman ketawa,”ya udah,
bentar lagi dah nyampe koq..” katanya yang cuman gw respon dengan senyum
kecut. Gak percaya.”beneran, bentar lagi
dah nyampe , nyampe tugu yudha...” katanya terkekeh. Yeee, tugu yudha,
bukan puncak...*pokerface. dan gw pun
ngikutin langkah kaki mereka yang udah mule jauh. Jalan, jalan, dengan
pemandangan yang sama. Udah mule ngrasa bosan, iseng nanya lagi,”udah sampe tugu yudha kak?’tanya gw ke
kak Ade. Kak ade ketawa,”lah, tutut
kemana aja? Tugu yudha udah kelewat tadi nho disana”kata kak ade sambil
menunjuk bukit dibelakang gw. gw cuman melongo,”ha? Apa? Baru kenapa kaka tra bilang2 sama saa...??apeleee”kata gw
langsung keluar logat papua. Ternyata tugu yudha sudah terlewat, dan kami
barusan melewati batu gantung. Gw liad jalur yang ada di depan gw. penampakan
jalur yang berpasir yang dekatnya hanya merupakan fatamorgana.”tinggal sepertiga lagi mbak tutut..”kata
kak ade ngliat gw yang mungkin nampak setengah ternganga dengan view yang ada
di depan.”what??sepertiga lagi? udah
deket donk ya?? Hmm, baiklah ayo semangat!’kata gw kembali berjalana
menyusul yang lain. Berry dan kak yanti terus jalan berdua, disusul gw dan kak
ade, dan kak usman yang tak jauh di belakang. Gw tengok kak usman,”kak usman, masih semangaat??”tanya gw
setengah berteriak.”yoa... sippp”kata
dorang. Kak usman sempat bercerita kalo berat badannya naik 5 kilo dibanding
terakhir naek rinjani yang punya trek yang mirip (yah, sama donk kak, gw waktu
rinjani masih 47kg, sekarang tergopoh-gopoh dg berat yg udah 52kg ^^”). Kata kak usman,”rasanya lebih berat ni bawa beban lebih banyak... haha.”kata kak
usman sambil ketawa pegang perutnya yang buncit. Kak usman, kak usman. kak usman
aja semangat, apalagi gw, kudu lah harus lebih semangat.
Jalur berpasir masih terasa
panjang. Puncak Kerinci berada pada antara ada dan tiada. Rasa bosan bahkan
sudah menghantui lantara dirasa langkah kaki yang tak kunjung harus berhenti. Uap
belerang sesekali naik merasuki hidung
yang membuat rasa mual. Untung sudah persiapan diawal pake doble masker dg sedikit dibasahi,
sehingga uap belerang yang melintas tak terlalu berdampak di diri.”kaaak, masih lama kaah?”tanyaku kembali
ke kak ade. Rasanya koq udah lama tapi gak nyampe-nyampe.”dikit lagi mbak...”katanya yang tetep yang akan kupercaya.”sini, mo kubantu tarik tangannya kaah?”tawar
kak ade kembali sambil njulurin tangan ngliat
jalan gw yang semakin sempoyongan dan semakin pelan. Gw menggeleng. Untuk kali
ini gw harus bisa kuat jalan sendiri. gak boleh nangis, udah jauh-jauh kabur
dari papua, gak boleh putus semangat. Klo gunung-gunung yang kemaren bisa
nyampe puncak, masak yang ini gak bisa?? Gw liad ke atas, langit kerinci begitu
cerah pagi itu, awan-awan putih menggantung ringan mewarnai birunya langit. Asap
belerang dan kabut ataupun badai yang ditakutnya pun tak ada nampak
kemunculannya. gw rasa alam memberikan gw lampu hijau untuk sampe di puncak. ”ayo tut, lo dah beruntung dapet cuaca cerah
di saat orang orang dari kemaren gagal muncak karena cuaca dan badai”kata
gw menyemangati diri sendiri. berpapasan dengan temen pendaki yang turun dari
puncak, kami bertegur sapa.”semangat ya,
puncak tinggal dikit lagi koq..”kata mereka kasih semangat. Mereka adalah
pendaki dari bekasi (semoga gw gak salah mengingat), yang udah tiga hari ini
stay di shelter 3 karena sejak kemaren-kemaren selalu gagal muncak karena badai
dan hujan. Baru hari ketiga ini akhirnya mereka dapet cuaca bagus. Gila meeen,
demi puncak, rela menunggu 3 hari . salut maksimal. thats why, gw harus bersyukur
cuaca hari itu ceraaaahhh banget. bahkan untuk cuaca di atas jam 7 pagi.
Mengingat pula surat keputusan yang dikeluarkan oleh taman nasional kerinci
seblat 1 hari sebelum pendakian kami yang menyatakan kalo pendakian hanya
dibolehkan sampai shelter II lantarn badai dan halilintar. So, masak si mo
nyerah udah sejauh ini.daan, setelah sekian lama menapaki kaki, sambil terus
berdoa tiada henti, sampe bikin janji janji dalam hati (janji jadi anak baik,
janji gak nakal lagi, janji gak marah-marah lagi, janji jadi dokter yang baik,
janji sana sini, hehe), akhirrrnya, teteep aja belon nyampe. Sampe rasanya udah
mo nangis,suara memberat,”kaakkk...”kata gw lirih ke kak ade. Kak ade’ yang
nangkep kalo gw udah mulai down ngajak istirahat, nyodorin air minum, menegak
sedikit air, dan kemudian jalan kembali. „tuh, liad, bentar lagi dah nyampe
koq..abiz batu yang di depan”kata kak ade sambil nunjuk jauh di depan. Tapi gw
bahkan udah gak berani lagi liad ke depan, jalan dah jalan, gak usah liad, daripada
pupus ni liad jalur yang gak selesai-selesai. Hingga di satu waktu, berry dan
kak yanti yang udah jauh tiba-tiba berhenti, nunggu kami bertiga.”ha??kenapa
kah?koq berhenti?”tanya gw ke berry ma kak yanti bingung.”entar.. dari sini
kita jalan bareng aja berlima..”kata berry.”tinggal dikit lagi koq..barengan
aja”dan kami pun akhirnya jalan beriringan berlima, hingga tak lamaaa,
sampailah kami pada apa yang kami tuju hari itu. ”udah?udah sampe puncak ni? Beneran??”tanya gw, kaget sendiri
tiba-tiba aja udah sampe puncak.”aargh...
beneran??puncak kerinciii???” mata gw mendadak berkaca-kaca. Semua nya
meluapkan rasa senangnya, terutama bagi gw, kak yanti, ama usman yang baru
pertama kali ini muncakin kerinci. Kamipun secara spontan berpelukan meluapkan
kegembiraan.”huaaa. puncakkkk..
akhirnya...”teriak gw dg suara memberat sedikit terisak. Terharu. Luapan emosi
yaang, entahlah, selalu tak terkatakan. Ada sensasi tersendiri ketika berada di
puncak dari sebuah pengejaran. Gw liad kak yanti yang juga udah mulai berkaca-kaca. Ekspresi
kegembiraan dan kebahagiaan terpancar dari raut muka masing-masing. Ekspresi
yang selalu tak terdefinisikan. Ekspresi yang muncul dari sebuah perjuangan
yang berbuah manis. Puncak Indrapura, Kerinci 3805 mdpl. finally, my 2015’s Resolution no.6 is Done!!!!
Waktu menunjukkan pukul 09.00
wib tepat ketika kami menapakkan kaki di atap Sumatra. And trully lucky us,
cuaca cerah sangat kali itu. Asap kawah tak banyak dan belum nampak untuk naik
dalam waktu tempo. Langit pun biru cerah, membuat kami cukup berlama-lama bisa
menikmati waktu di puncak. 1 jam lamanya, hingga sang kapten, berry memutuskan
untuk segera turun.”ayok, sudah, waktunya
turun. Dah cukup kaan?’kata berry yang membuat kami pun harus cukup puas
dengan waktu yang ada. Nexttime lagi lah ke sini lagi. haha. Demi keselamatan
kami semua juga koq.
Butuh waktu yang gak lama
untuk turun ke pos 3. 1 jam 15 menit, sambil maen prosotan di pasir. Belajar
dari temen waktu di rinjani (thx bt bung bion n bung afit), dan temen waktu di
merapi (bee n penceng), yang ngajarin caranya turun cepet di pasir. Sruuut.,
sruuutt. Setengah berlari setengah berprosotan (*tapi tanpa pantat terlibat)
biar lebih jauh dan cepat jangkauan melangkahnya. Haha.
Sekitar pukul 12.30 kami tiba
di pos 2. Lumayan agak lama untuk turun, lantaran kami yang lebih memilih jalan
santai ditambah ditengah jalan kak Yanti gak sengaja ketemu temen yang dulu
pernah ketemu di Gili Lombok. Ngobrol lama dulu. Nah lho, kebetulan yang aneh -_-‘’. Rasa lapar
yang mendera sedari berada di shelter 3 pun akhirny sirna oleh nasi goreng buatan kak
Rully yang sengaja disiapkan untuk kami yang abis summit. Baunya, menggoda...
nasi goreng, kerupuk, dan nuget jadi menu andalan. Meen, bahkan nasi gorengnya
lebih enak daripada nasi goreng buatan gw (*merasa gagal sebagai
perempuan,fyuhh).. kenyang makan pagi dijamak makan siang, kami beristirahat
sejenak. Kebetulan pas gerimis mengundang. Malas bergerak, dan lebih memilih
untuk leyeh-leyeh mengantuk dalam dekapan hujan. Sambil nunggu hujan reda,
sambil nunggu sang kapten berry bobok siang, sambil packing-packing. Barulah
sekitar pukul 14.30 kami beranjak untuk jalan. Gw, berry, usman, kak yanti, dan
kak adhie. Kak essa dan firman yang gak ikut summit, udah jalan turun bahkan
sebelum kami sampai di shelter 2. Sedang kak rully dan kak ade, yang bawa beban
paling banyak, memilih untuk turun belakangan. Kata dorang,”kita klo turun sambil lari si. Kalo bareng
sama kalian, ntar malah tambah capek. Soalnya bawa beban lebih banyak, kalo
jalannya ditahan, kaki lebih capek”. Beeuuh, gila. Maka, jadilah kami
berlima jarang bareng-bareng. Dengan jalur yang sama saat mendaki. Jalan pelan
pelan sambil cerita, sambil ketawa. Meski capek, meski pegel, meski mungkin
udah mulai bosen, tetep bisa saling kasih semangat. Saling berbagi snack, dan
berbagi tegukan air. Kak adhie yang dari awal gak fit, semakin drop saat turun
mendaki. Dizziness, mual, demam, dan ‘gak enak badan’ lah istilah orang
indonesia. Tapi, namanya juga temen setim, satu untuk semua, semua untuk satu.
That thing that I always learn from mountaineering, Care on each other.
Sekitar pukul 19.00 malam kami
tiba di R10, dijemput kak essa dan firman dg seteko teh panas manis (*damn,
that was the most ‘sweet’ tea I ever drink). *cocwiitbanget. Tiba kembali di
homestay dg badan yang udah setengah remuk, tapi terasa lebih sempurna. Hari
yang melelahkan, but I know, this will be one of best moment in my Life.. thx
for Kerinci and everybody who were there.... (230615 23.39wit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar