Accidental Story of Wamena (1): Where am I ?
*Starting to write something
Day 1 :
Augt 8th 2014 - FBLB – Goa Lokale – Mumi Jiwika – Bukit Batu – Pasir
Putih
Matahari bersinar malu-malu dari balik kerumunan awan
pagi itu ketika gw bersiap berbegas menuju bandara. Ruang tunggu Bandar udara
sentani begitu ramai malas meski waktu masih menunjuk pada pukul 06.00 pagi.
Waktu bergulir, satu persatu pesawat dengan berbagai jurusan terbang mengikuti
pengumuman penerbangan pesawat yang dikumandangkan. Trigana air IL-241 yang
seharusnya termasuk pesawat yang terbang di awal tak kunjung disiarkan.
Ternyata seperti dugaan banyak orang, trigana terlambat terbang oleh karena
banyak alasan. Di salah satu sudut ruang tunggu gw menanti, berkutat dengan
gadget untuk sekedar mengalihkan waktu, sambil sesekali mengamati orang-orang
di sekeliling. Susasa ruang tunggu
bandara yang ramai mendayu, simpulku.
Trigana ATR = Kursi Pijat
Sekitar pukul 08.15, 1 ½ jam lewat melebihi jadwal terbang
seharusnya, pesawat trigana kami pun pada akhirnya lepas landas dan mengudara. Untuk
pertama kalinya gw naik pesawat tipe ATR. Dan rasanya naek pesawat ATRnya
Trigana itu berasa seperti sedang duduk di kursi pijat, getarannya, terasa dari
ujung kaki sampe ujung kepala. Sehingga meski kata orang 30 menit itu cepat,
bagi gw, 30 menit dalam pesawat ATR trigana terasa lamaaaa banget
*semogalekassampai dengan selamat
Polisi Ganteng
And, after 30 minutes left, We landed safely at
Bandar Udara Wamena *yeeeiy. Udara sejuk
langsung terasa menyentuh kulit ketika kaki ini menginjakkan tanah Wamena, kota
kecil di sebuah lembah pegunungan jayawijaya.
Suasana begitu ramai oleh orang-orang yang datang,
menjemput, menunggu, dan berlalu lalang di sana. agak ragu rasanya untuk
melangkah melihat banyak muka-muka yang begitu ‘seram’, hingga akhirnya
terjadilah kejadian ini. di pos polisi bandara, seorang polisi muda berbadan
tegap (*gantengpula, haha) nampak sibuk berlalu lalang. “maaf pak, kalo di sini nyari ojek dimana ya? koq saya gak lihat ada
pangkala ojek ya?” Tanya gw dengan cupunya *maklum baru pertama ke wamena,
dan sendiri. “mbak nya mo kemana?biasanya
ada, sebentar tak cariin” jawabnya sambil melihat kearah luar halaman
bandara. “mo ke hotel rannu jaya pak,
jalan trikora...”jawab gw lagi. “oh…
deket koq. Gak naek becak aja??”tanyanya lagi. gw menggeleng sambil
tersenyum,”enggak deh pak. Takuttt. Baru
pertama kali ke wamena jadi.” si bapak eh, mungkin masih mas-mas nglirik
gw,”oh.. baru pertama kali ke wamena? Gak
ada yang jemput? Atau ada kenalan di sini?’tanyanya lagi. gw meringis,”hihi… gak ada pak..” kata gw singkat. si
bapak masih sibuk melihat-lihat keluar halaman, kemudian mengajak gw berjalan
lebih jauh keluar jalan lantaran tak nampak adanya satu pun tukang ojek.waktu
tiba di gerbang selamat datang bandara, beberapa tukang ojek nampak menunggu di
pangkalan. “itu, ada…. Di sana..”
tunjuknya. Tapi gw ragu, semuanya orang lokal. Entah kenapa gw takut dan ragu
naek ojek penduduk lokal (orang wamena). “di
sini gak ada yang pendatang ya pak?? Koq saya takut ya??” kata gw malu-malu
ragu. Si bapak polisi ngliat gw lagi, liad dari ujung kaki sampe ujung kepala.
Gw cuman meringis. Mungkin yang ada dalam pikirannya,”ni anak… setengah setengah deh. udah berani ke wamena sendiri, tapi
disuruh naek ojek orang wamena kagak berani.”. haha. Setelah diam agak
lama, mungkin sedang menimbang dan berpikir dirinya akhirnya angkat bicara,“ok, saya anter aja. Hotel rannu jaya deket
koq dari sini. sebentar. Saya ambil motor.”kata pak polisi. Gw cuman
tersenyum, garuk-garuk kepala. Dengan sebuah motor pinjaman pakpol mau
nganterin gw, dan akhirnya, sampelah gw dengan aman di hotel tempat gw bermalam
selama beberapa hari di wamena. Hotel Rannu jaya I di jalan Trikora, sekitar
500 meter dari bandara wamena. *feelsoshy
pas anak pulang sekula |
Wosilimo, tempat digelarnya festival lembah baliem,
terletak sekitar 30 km jauhnya dari kota Wamena. Waktu gw nanya ke tukang ojek,
tukang ojeknya nggeleng, ragu-ragu tentang keberadaan wosilimo. Dirinya meski udah
dua tahun, tapi belum pernah ke festival lembah baliem, ah, bahkan gak tau itu
apa festival lembah baliem.setelah berdiskusi dan bertanya dengan teman sesama
ojek, dan tawar-menawar harga kami sepakat untuk berkendara ke wosilimo. “mbaknya
gak takut??” “ntar klo ada apa2 gimana?” Tanya pakOjek ditengah-tengah
perjalanan. Hamparan savanna yang dilatari dengan bebukitan disegala
penjuru mendominasi pemandangan
wamena-wosilimo. Beberapa honai yang berpagar anyaman alang-alang membentuk
sebuah perkampungan sesekali terlintas di jalan. gw cuman tersenyum meringis,”takut sih takut, tapi life must go on pak…
jalan ajaaa… “kata gw santai dibelakang kemudi pak ojek. jalanan memang
sepi, hanya sesekali motor, truk, atau mobil2 offroad melintas. gw sendiri
malah asik menikmati pemandangan yang ada. Merentangkan tangan lebar-lebar
merasakan hembusan angin yang terasa dingin dan membuat ujung hidung membeku. “masih jauh gak ya mbak?? Hadoh, bensinnya
gak saya isi penuh ini. ntar kalo mati dijalan gimana? Truz nti kalo ada orang
jahat gimana?” katanya lagi kembali ragu ketika kami melintasi sebuah
perkampungan honai di daerah Kurulu.. Penduduk lokal yang berdiri di pinggir
jalan yang melihat kami terkesan menyeramkan. Si bapak menjadi keot. Gw cuman
tepok jidat,”hajar pak.. tenang. Lurus
ajaaaa, ntar sampe koq ke tempat festival. Aamaan, amaaan…” katagw
menenangkan. Gw sih takut, tapi koq lucu ya ketemu tukang ojek yang bahkan
lebih penakut disbanding gw? *tepokjidatberkalikali.
Festival Lembah Baliem.
Setelah sekitar 1 jam,
melewati distrik kurulu dan beberapa distrik lainnya, melintasi berbagai macam
pemandangan alam yang indah, kami tiba di wosilimo. Suasana berubah, ramai oleh
orang dimana-mana. dua buah truk berisi satuan brimob dan satuan polisi di
tempat yang tak berjauhan terlihat berjaga di area sekitar pargelaran festival.
Waktu menunjukkan pukul 11.00 wit. Gw pikir udah telat, tapi ternyata
pertunjukan belum dimulai. “biasa mbak….
Jam karet. Kemaren aja baru mulai jam 12.00 padahal menurut jadwal jm 09.00” kata
mbak2 di pintu masuk festival, sambil menyodorkan booklet / event booklet berisi
tentang jadwal pertunjukan selama tiga hari berikut detail cerita dari
masing-masing pertunjukan. Untuk memasuki area festival, pengunjung ditarik
biaya Rp.20.000 untuk wisdom dan Rp.150.000 untuk wisman perkepala.
Little bit ‘bout Festival Lembah Baliem. Festival Lembah Baliem tahun 2014 merupakan
festival yang ke-25 sejak diadakan di tahun 1980an. Festival ini awal mulanya
dilakukan sebagai pengganti dari kebiasaan berperang antarsuku Dani, Lani, dan
Yali di masa lampau, meski saat ini sesekali masih sering terjadi perang suku
yang sebenarnya.. festival tahunan yang dilakukan setiap bulan Agustus ini
menyajikan banyak pertunjukan budaya dari suku Dani,Lani, dan Yali mulai dari atraksi
perang-perangan, tarian adat, acara bakar batu, dan berbagai macam lomba
antar distrik / kampung yang bisa dinikmati oleh pengunjung festival, seperti
lomba kerajinan noken, lomba tiup pikon (pikon : alat music tiup
tradisional), lomba karapan babi, lomba permainan Puradan & sikoko
(sikoko : perlombaan yg dilakukan oleh anak laki2 dg melemparkan tombak ke suatu
sasaran, puradan : perlombaan melempar tombak kea rah lingkaran rotan yang
digelindingkan. Keeduanya digunakan untuk mengasah kemampuan anak dalam
memainkan tombak, entah untuk berburu ataupun perang2an?? Oh, no) dan lomba
memanah dan lempar tombak khusus untuk turis mancaranegara. Wew.
tari perang-perangan |
Satu yang lucu adalah ketika gw baca event
bookletnya, disitu tertera beberapa synopsis dari atraksi perang-perangan.
Atraksi perang-perangan yang ditampilkan masing-masing distrik punya latar
cerita yang berbeda. Tapi jika dibaca dari judulnya, hampir sebagian besar
latar belakang terjadinya perang2an adalah sama, masalah hak ulayat / tanah,
masalah perempuan, atau masalah nyawa balas nyawa. Ambil beberapa contoh yang
gw baca : Distrik Pelebaga :judul : Tersinggung
Istrinya dirayu, teman sendiri jadi korban. Distrik Siepkosi : judul : hak Ulayat, 2 suku Bersengketa. Distrik
Trikora : judul : Dibunuh Karena Berkebun
di Lahan Hak ulayat orang lain. Distrik Bipira : Istri dijahili orang, suami pimpin perang Adat. Tapi, itulah
cerita, cerita masa lalu masyarakat suku Dani. Kalo dibilang ya masa
jahiliyahnya dulu, meski sekarang satu dua kejadian serupa masih terjadi. And I
enjoy it, although they used local language, we were consoled with their
attraction, even we laugh several time on many scene.
Kamera
diberbagai Penjuru - Camera Everywhere
Dua hal pertama yang membuat gw amaze dengan
festival ini. yang pertama adalah adanya ratusan orang2 suku Dani, Lani, dan
Yali dengan berbagai kostum dan aksesoris yang unik yang khas suku Dani
bertebaran siap pentas di lapangan besar Wosi. Yang kedua, yang buat gw lebih
amaze adalah adanya ratusan kamera dengan berbagai macam bentuk dan rupa yang
tergantung di leher banyak wisatawan,. Entah hanya sekedar wisatawan,
fotografer amatir, dan banyak fotografer profesional (klo ini gw ngJudge dari
kameranya yang naudubile punya lensa yang panjang dan lebar dan banyak). Entah
dari fotografer lokal maupun fotografer mancanegara. Dari kamera pocket, kamera
hp, kamera dslr, kamera Go Pro (yg lagi trend), kamera unik (opo mbok jenenge
–kayak punyanya bangTompi ß ajegile juga gw
ketemu tompi), kamera dg lensa standar kyk punya gw ampe kamera dengan lensa
yang panjangnya mungkin lebih panjang disbanding hidungnya pinokio, dan lebih
lebar dari jidatnya Deddy Corbuzier.
laki-laki suku Dani |
Meski acara belum dimulai banyak wisatawan sudah asik
dengan kameranya mengabadikan segala hal di area festival. Agak lucu juga
memperhatikan para fotografer yang matanya tak pernah lepas dari jendela bidik
kamera, sesekali melihat hasil jepretan di layar monitor dan kemudian mengintip
lagi dijendela bidik. Sekali dua kali terjadi pertengkaran antar fotografer
atau wisatawan ketika ada seseorang yang menghalangi pandangan mereka. “what ‘re u doing? Go!!” teriak seorang
fotografer dengan sedikit mengumpat mengusir ketika seorang wisatawan asing
berdiri berpose didekat sekolompok mama2 suku Dani yg sedang menari
menghentakkan kaki. Di tempat lain, hal serupa terjadi, sekelompok laki2 Dani
tengah duduk membentuk lingkaran sambil bernyanyi dengan alat music sederhana
mereka. fotografer2 mendekat segera mengabadikan apa yang ada di depan mata
mereka. kemudian secara tiba2 seorang fotografer memasuki lingkaran laki2 Dani
tersebut. “hei… go away!!”teriak
seorang fotografer asing yang disusul sorakan fotografer lain tanda kekesalan. Si fotografer yang memasuki lingkaran nampak
tak peduli, dipungutnya sesuatu dari dekat lingkaran penari. Olalaa, ternyata
dirinya hanya mengambil sebuah botol air mineral kosong yang berada di dekat
lingkaran, yang menurutnya mengganggu hasil ‘capture’an dirinya dan fotografer
lain. Gw ketawa, seorang fotografer lokal yang ada disebelah gw juga ikutan
ketawa. seseorang nyletuk,”oh… cuman
ngambil sampah… he just help us” padahal orang2 udah pada nyorakin.
Geleng-geleng dah. Emang segitunya orang pada pengen ngambil moment demi, demi
apa gw juga gak ngerti.
Di tempat lain, seorang laki-laki suku dani tampak
begitu menarik perhatian karena kostum yang dikenakannya. Menyadari dirinya
disoroti banyak kamera, dirinya berpose (yang pasti gak berpose alay) dengan
sebatang rokok di sela jari kirinya, duduk santai dengan kaki berselonjor. Dua
orang fotografer nampak begitu asik dan berlama-lama membidik bapak suku Dani
ini dari berbagai sudut. Saking asiknya, gw dan beberapa orang yang ada
dibelakang sibapak diusirnya, “sts…st..”katanya
pada kami dengan gerakan tangan mengibas menyuruh kami berpindah dari tempat
kami berdiri. Gw cuman menurut sambil
terus memperhatikan si bule yang gw rasa orang jepang. Tiba2 terjadi satu yang
menggelitik, si bapak suku Dani yang mulanya santai, tiba2 menggerak2kan jari
tangan kanannya memberi kode pada si fotografer jepang wanita untuk memberinya
uang. Tapi si bule jepang ini menolak, menggelengkan kepala,”no.. no…” katanya sambil terus asik membidik si bapak Dani. Si
bapak Dani masih terus mendesak untuk diberi uang atau mungkin sekedar rokok,
tapi si bule jepang hanya menggeleng, menolak. Dan kemudian si bapak Dani
berubah ekspresi, menjadi ganas. “no…!!
go… ..huss.. huss…” kata si bapak tadi kemudian mengusir si bule jepang
dengan tangan yang dikibas-kibas. Fotografer yang tadinya asik tengkurap pun
berdiri, meninggalkan si bapak sambil mengomel, entah ngomel apa. Dan gw,
sekali lagi hanya bisa geleng-geleng kepala.
Met Her
Di sebuah tempat di podium gw duduk, bersama
ratusan wisdom wisman yang sedang menanti pertunjukan perang-perangan yang akan
ditampilkan. Terik matahari tak terasa panas oleh sejuknya udara pegunungan
jayawijaya. Seorang wanita, berusia gak jauh dari gw yang lepas mengambil
gambar dengan kamera pocket silvernya duduk di sebelah gw. beradu pandang, kami
saling tersenyum. Tak berapa lama, kami pun saling menyapa. Entah siapa yang
dahulu memulai percakapan, yang pasti dari sinilah perkenalan dan cerita kami
berlanjut. Friska Simanjuntak, an librarian, work for private company at a
school at Timika. “kamu sendiri??”Tanya
gw, dirinya mengganguk dan ketika dirinya bertanya balik dengan pertanyaan yang
sama, gw tersenyum,”huum…”. Friska,
yang rela-rela terbang jauh dari Timika ambil cuti 3 hari demi liat festival
lembah baliem, terbang sendiri dan kemudian menginap di rumah temannya teman
yang tinggal di wamena yang secara kebetulan adalah panitia festival lembah
baliem sehingga dirinya dibantunya untuk pergi menuju tempat festival dan
dibantu beberapa hari untuk jalan-jalan keliling wamena. Beberapa obrolan
mengalir begitu adanya diantara kami, tentang identitas, tentang festival, dan
tentang rencana hari berikutnya di wamena. “gw
udah bikin list sih mo kemana aja, pengen ngrasain udang selingkuh, pengen liat
mumi, dan blabla”cerita friska panjang lebar sambil menunjukkan secarik
kertas coret-coretan tentang apa saja yang harus dilakukan dikunjungi dan
dibeli di wamena. “saya sih rencana
pengen ke telaga biru, ke goa lokale,liad mumi,
air terjun napua, dan sebenernya pengen ke danau Habema, cuman kata
banyak orang masih rawan untuk pergi ke sana. cuman masih belum tau
gimana-gimananya..mungki abis ini mo ke goa lokale sama ke mumi yang deket
sini” kata gw sambil meringis, karena masih bingung aja. “wah… ya udah, ayo… kita bareng aja…. wa,
seru, seru… enakan klo ada temennya, jadi bisa patungan juga, soalnya katanya
mahal sih ke mumi…”kata friska dengan excitednya. Gw jadi semakin excited. “ok.. siip, sip….” Dan kami pu menjadi
asik membicarakan rencana lepas dari festival dan agenda untuk hari esoknya.
Percakapan kami terhenti ketika tiba-tiba api yang dinyalakan seorang suku dani
dg hanya menggunakan batang ilalang kering yang digesekkan sebagai bagian dari
pertunjukan tiba-tiba membesar dan tak bisa dipadamkan. Terik matahari dan
angin yang bertiup kencang membuat api semakin merambah di lapangan yang
ditumbuhi rumput kering. Panitia langsung berlarian berusaha memadamkan api, tapi api semakin
membesar hingga menjalar mendekati salah satu podium penonton. Penonton
berlarian, termasuk gw dan Friska, meski sambil tertawa menikmati pemandangan
yang ada, “aaargh… keren banget, cuman
pake pemantik ilalang api bisa jadi besar”kata gw terkagum-kagum meski
orang makin khawatir berlarian karena api tak kunjung padam dan semakin
membesar. Beberapa wisatawan mendekat membantu memadamkan api dengan
menggunakan air mineral yang mereka bawa, hingga tak berapa lama api padam.
Fuuh, ada juga kejadian seperti ini.
nyalain api cuma dg menggosokkan kayu di rerumputan |
efeknya malah terjadi kebakaran yang susah dipadamkan |
ceritanya si anak nglaporin si bapak klo kakaknya abis dibunuh suku sebelah |
ceritanya lagi tari-tarian di acara perkawinan |
ready to war! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar