Accidental Story of Wamena (3): Culture and The Outsiders
Day 2 : Augt 9th 2014 – Hitigima and back to FBLB
Hitigima
Friska
kembali mengajak gw gabung dengan acara jalannya. Kali ini, gw pasrah, mo
kemana aja, hayuk dah. “soriii.. I’m
late..”kata gw yang datang paling belakangan. friska dan teman2nya sudah
cukup lama menunggu. “it’s ok, kita juga
baru datang koq”kata friska sambil mengenalkan teman-temannya. Teman2 yang
juga baru friska kenal hari itu. Ceritanya kakYesa gak bisa antar friska jalan2
so, friska ‘dititipin’ ke temannya yang ada rencana jalan ke luar wamena,
tepatnya di hitigima. Dari sini lah gw dikenalin dengan kakGasco, kakSelastina,
kak Marthen dariBelanda (semoga gw gak
salah mengingat), dan kakSintike. Bersama mereka, kami baku bonceng, friska
dengan kak Sintike, kakMarthen dg
kakSelastina, Dan gw dg kkGas. Sekitar
30 menit perjalanan, kami tiba di Hitigima, 20km arah timur wamena. Secara
letak, posisi hitigima lebih tinggi disbanding kota wamena, sehingga udaranya
jauh lebih dingin disbanding wamena (bah, wamena saja udah dingin…). Pemandangan
sepanjang perjalanan menuju hitigima gak kalah cantik dengan perjalanan
wamena-wosilimo. Ah, gw rasa gak ada pemandangan yang jelek di kabupaten
jayawijaya ini. pemandangan yang didominasi padang savanna dengan latar
bebukitan menemani perjalanan kami. keluar dari wamena, kami melewati pasar
Wouma,kemudian menyeberang jembatan miring yang nyaris ambruk… kakGas said,”it’s maybe the worst bridge I ever see..” motor
kkGas mencoba berjalan diatas papan kayu yang sudah pecah di sana-sana, motor
dan mobil dari arah berlawanan pun harus baku ganti satu sama lainnya untuk
melintasi jembatan.”hold on…”kata
kkGas. Gw yang bonceng dibelakang cuman tahan nafas, jangan sampe ban motor ni
selip di papan. Agak khawatir sih, but maybe it’s cool!kalo dijawa, jembatan
kayak gini mungkin udah masuk tivi kareNa kemiringan jembatan yang terlampau
miring dan banyaknya motor dan mobil yang melintasi jembatan ini. jelas, resiko
untuk jembatan ini amblas dalam waktu dekat itu besar. padahal sudah ada
jembatan baru dan besar di sisi timur jembatan, tapi entah kenapa belum
dioprasionalkan dan dibuka. Di sisi lain pemadangan sungai baliem yang terlihat
di bawah jembatan nampak begitu menarik perhatian. Air sungai yang berwarna kecoklatan dan tak
memenuhi seluruh lebar sungai menyisakan tepian sungai yang dipenuhi batukerikil-kerikil,
yang Uniknya nih, dipakai oleh banyak orang untuk mencuci dan berjemur. Jadi
inget sungai di india (kayak di film2 india). Gw perhatiin pakaian2 nampak
direntang dijemur dihamparan kerikil, beberapa mama-mama sibuk mencuci pakaian,
beberapa lainnya hanya nampak duduk-duduk sambil baku menganyam rambut, dan
yang bikin gw kaget adalah beberapa nampak tengkurapan badan ditepian sungai.
Meeen, itu lagi berjemur???? Sungguh. Just so unique. Truly like in india.
|
on the way, asolokobal |
|
met tompi at 'tanah longsor' |
Setelah
melewati jembatan motor kami terus melaju hingga melewati distrik asolokobal,
dan, daerah ‘ tanah longsor’ yang sering menjadi tempat favorit untuk fotografi
hingga tibalah kami di Hitigima. Di hitigima baru gw sadar, ternyata perjalanan
kami ini tak hanya sekedar jalan-jalan belakang. Ada misi yang
sedang diemban oleh kawan-kawan friska *tsah. Kawan2 friska yang adalah guru2
dari kampus STKIP wamena sedang menyusun buku cerita untuk anak-anak papua.
Untuk menyusun buku ini mereka mengumpulkan informasi tentang kisah-kisah
heroic, kisah-kisah sarat makna yang nyata yang terjadi di masyarakat papua.
Seorang tete (kakek) menjadi narasumber mereka hari itu. Tete adalah seorang
Penginjil dari Hitigima. Dia yang membawa injil masuk Hitigima. Kalo dari kata
temen gw, Hitigima tu merupakan salah satu tempat pertama injil masuk wamena
(semoga gw gak salah). Waktu gw nanya, “penginjil
tu apaan? Sama kayak misionaris?’ kata temen gw, “beda, penginjil orang yang bawa injil, biasanya adalah masyarakat asli
yang kemudian ditunjuk untuk menyampaikan injil pada masyarakat. Misionaris tu
orang yang mengajarkan ajaran agama ke masyarakat yang belum mengenal agama”
ok, gw berusaha mencerna meski belum sepenuhnya mengerti. Tapi pada intinya,mereka
sedang menyusun cerita tentang kisah2 perjuangan hidup untuk dijadikan buku
cerita anak2 wamena. Satu bagian yang lucu adalah waktu tete bercerita ketika
dirinya jatuh dari pohon dan kemudian kedua kakinya patah. Karena saat itu di
wamena belum ada rumah sakit, dirinya terpaksa dibawa ke sentani dengan
menggunakan helicopter. Cerita tete bercampur dengan bahasa asli yang
diterjemahi oleh kakSelastina,”itu
pertama kalinya saya naek pesawat. Saya takut jatuh. Tidak ada siapa-siapa di
sana. hanya saya sama pilot saja. waktu itu saya pikir saya sudah mo mati..”
cerita tete yang membuat kami tertawa membayangkan kejadian yang sudah puluhan
tahun terjadi.
|
left to right : kakSelastina, kkGas,kakMarthen, tete, and Sintike |
Di bawah pohon yang rindang di atas aliran
sungai kami mendengarkan cerita tete. Sebuah kamera dg tripod kecil di arahkan
pada tete. kkMarthen menyimak sambil mencorat-coret di buku kecilnya. kakSelastina
dan kakSintike menjadi penerjemah, meski tete bisa berbahasa Indonesia, ketika
sudah asik bercerita bahasa aslinya sering keluar yang membuat kami hanya
ternganga tak mengerti. Sesekali tete membuat kami tertawa dengan ceritanya
ataupun bahasa tubuhnya. Ah, such a nice story. Tinggal nunggu kapan buku
cerita mereka jadi dan diterbitkan.
|
a bug shield / bug shell?. selastina said,dont shatter it, someday, it'll be used for other bug' |
sambil nunggu kawan-kawan melakukan wawancara, gw, friska and kkGas jalan-jalan di sekitaran hitigima. gak jauh-jauh, cuman maen di sekitar sungai yang jernih airnya dan sedikit melihat di bagian yang lebih tinggi
|
nikon d3200 pny gw versus canon eos rebel SL1 pny kkGas |
|
capturing on each other |
|
halo? are u there?? |
|
friska and kkGasco |
|
mama-mama dg dong po noken yang berat apaaa... |
Baliem Valley Festival Closing
“ the unique one is
they always celebrating every moment in their life with singing and dancing’’
Sekitar pukul 12.00 gw dan kkGas berpisah dengan
kawan lainnya. Gw terpaksa ikut kkGas lantaran kkGas sudah ada janji dengan
kawan lainnya untuk lihat festival lembah baliem bersama. “kk belum liad festival dari kemaren?”Tanya gw. “belum too.. kan kemaren2 masih kerja.
Mumpung hari sabtu libur kita mo ke sana. so are u okay following me?” gw
mengangguk tersenyum. Kebetulan, masih pengen liad festival.
Bersama dua kawan kkGas, kkIyek dan uncle Mile, kami melaju ke
Wosilimo, berharap belum terlambat untuk festival. Dan ternyata benar, acaranya
belum berakhir. Satu dua kampung masih menampilkan atraksinya. Di salah satu
sudut, sekelompok mama-mama duduk bersila membentuk lingkaran sambil bernyanyi
nyanyi dengan mereka pu bahasa. Di sisi lain, sekelompok laki-laki Dani
melingkar rapat bernyanyi sambil memainkan alat music tradisional dan
menghentakkan kaki mengikuti instruksi satu pemimpin yg berada ditengah lingkaran.
Dilingkaran yang lebih luar mama-mama yang bertelanjang dada bergandeng tangan
berlari mengitari lingkaran para lelaki. Penasaran dengan rasanya berputar
mengitari lingkaran gw ikutan masuk dalam lingkaran, mendekati seorang mama.”boleh ikut mama?” Tanya gw ke seorang
mama yang memakai kaos merah, berbeda dengan yang lain yang bertelanjang dada.
Mama tersenyum sambil menjulurkan tangannya mengajak berpegangan tangan,”ayo…mari ikut”katanya. Bersamanya gw
ikut berlarian, sekali putar, dua putaran, tiga putaran hingga putaran yang tak
terhitung. Lumayan juga rasanya, dibawah terik matahari yang mungkin gak
terlalu panas karena udara sejuk ketinggian wamena, tetap saja gw terengah, dan
berkeringat. “mama tra rasa capek kah?’kata
gw, masih sambil berlari mengikuti putaran. “tidak to… su biasa..” kata mama bahkan tanpa terengah. “ini nanti putar sampai berapa kali kaah??’
Tanya gw lagi, khawatir kalo gak berhenti-henti. “putar saja.. tong ikuti yang menyanyi’ kata mama.
gw mengamati bapa2 yang ada dalam lingkaran masih
nampak asik dan bersemangat bernyanyi dan menghentak-hentakan kaki. Sesekali langkah2 kaki melambat ketika tempo
nyanyian melambat, kemudian kembali berlari kencang ketika tempo berubah cepat.
Sambil berlari mama mengajak gw untuk mengikuti nyanyiaannya dalam bahasa Dani,
terkadang berupa kata-kata terkadang hanya suara2 seperti ‘auwa… auwa…auwa…” “ooo….
Ooo.. ooo…” mirip ‘syalala’ atau ‘na..na…na…” nya orang bernyanyi. Jika
nyanyian berubah menjadi suatu kata2 dalam bahasa Dani, mama akan
menceritakannya pada ku. Kata mama, tarian ini biasa dilakukan ketika ada pesta
atau perayaan, pada satu nyanyian mereka bercerita tentang perkawinan seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian ketika tempo melambat, mereka berganti
cerita, nyanyian berikutnya bercerita tentang pesta untuk membangun rumah dan
acara bakar batu, kemudian tempo melambat lagi, dan ketika tempo berubah, nyanyian
pun berubah menceritakan cerita yang lain, cerita tentang kelahiran seorang
anak, dan seterusnya, yang kalo boleh gw simpulkan adalah ‘they always celebrating every moment in their life with singing and
dancing’. Nafas gw masih terengah, atau bahkan makin terengah, berlari
sambil bercerita gw rasa bukanlah perkara yang mudah. Mama masih menggenggam
tanganku erat. Entah kenapa gw rasa genggaman itu terasa hangat, hangat hingga
membawa adrenalin tersendiri untuk membuat gw tetep bertahan ikut berlari
mengitari lingkaran. “mama betul tra
capek kah???hosh, hosh, sa su terengah ini tapi sa liat mama lari sambil cerita
macam tra capek…”kata gw yang cuman disambut senyuman setengah tertawa oleh
mama. mama begitu menikmati alunan nyanyian dari lingkaran para lelaki. “ capek nanti to di rumah, bisa tidur.
Sekarang lari saja…”kata mama dengan ekpresi penuh keceriaan dan semangat
masih mengajak gw berlari sambil bercerita. Sekali putaran, dua, tiga putaran
hingga kembali tak terhitung. Meski terengah, alunan music dan nyanyian terus
memberi dorongan untuk kembali melangkah. Hingga satu titik gw menyadari tarian
ini tak akan berhenti dalam waktu dekat ke depan hingga gw memutuskan untuk
mengundurkan diri, setelah merasa cukup berkeringat dan merasakan sensasinya
menari berlari bernyanyi bersama mereka. “mama,
sa cukup sudah e… su tra mampu ini…”kata gw dengan nafas satu-satu, mama
tersenyum berusaha menahan tapi cukup mengerti dengan membaca ekpresi muka gw.
“terima kasih mama… waaah.. waaah..
waah..” kata gw sambil melepaskan genggaman mengucapkan salam bahasa wamena
‘ waah, waah.. waah… yang bisa berarti ‘salam’, ‘selamat’ ataupun ‘terima
kasih’. Mama tersenyum,”waah.. waah.. wah…”jawabnya
kembali, diremasnya tangan gw lebih erat sedetik sebelum genggaman itu
terlepas. Gw tersenyum, from this moment, I knew, my 2014’s resolution no.1 is
more than Done!^^
Kami kembali
melangkah mengamati di sisi lain lapangan. Meski semua pertunjukan sudah
ditampilkan, masih banyak wisatawan yang wara-wiri di sekitar lapangan untuk
mengabadikan gambar, entah di dekat atribut pertunjukan ataupun dengan
masyarakat suku Dani peserta festival yang nampak unik dengan aksesoris
etniknya. Di sisi lain beberapa mama-mama menggelar ‘noken’nya menjual
aksesoris handmade buatan aseli tangan mereka, macam noken, gelang anyam, dan
lainnya. Festival belum sepenuhnya
berakhir hingga acara penutupan dimulai, tepat setelah bupati Kab. Jayawijaya
tiba di tempat penyelenggaran festival lembah Baliem. Jika bagi wisatawan
Festival Lembah Baliem hanya sekedar festival tari-tarian dan perang-perangan,
bagi masyarakat setempat (entah suku Dani, Lani, dan Yali) festival ini juga
ajang untuk saling ‘unjuk’ atraksi, entah itu dalam bentuk lomba karapan babi,
lomba atraksi perang2an dan tari2an, lomba paradan& sikoko atau lomba tiup
pikon, yang pemenangnya diumumkan tepat diacara penutupan festival. Satu
kebanggaan bagi mereka untuk bisa menjadi pemenang dalam festival ini. acara
pun kemudian ditutup dengan doa dan alunan music rege dalam pengeras suara
mengiringi bubarnya satu persatu orang di festival.”what? udah?? Gini aja? gak ada firework?? Gak ada yang wow gitu??’tanya
gw terbengong2 ketika melihat semua orang bubar jalan meninggalkan lokasi
festival. Agak disayangkan ketika acara penutupannya ‘kurang nendang’, kurang
‘berkesan’. Padahal saat itu banyak
wisatawan yang berharap ada sesuatu yang lebih dalam acara penutupan. Padahal
pun saat itu masih banyak masyarakat suku Dani yang berkumpul. Ah, andai saja
Acara Penutupan Festival Lembah Baliem ini ditutup dengan acara ‘Menari
Bersama’, make a circle, a big, big
circle between Dani’s people and tourist and everybody there, holding hand,
dancing and singing together, maybe the closing could become more ‘impressive’…
ah, andai saja….
|
uncle mile yang dikrubutin mama-mama |
|
left to right : uncle mile, kakIyek, me, and kkGasco |
Waktu menunjukkan pukul 17.00, dan kami berempat pun memutuskan untuk
ikut bubar jalan. Meski banyak hal bisa diktritisi tentang pagelaran Festival
Lembah Baliem ini, gw yakin, semua orang tetap membawa kesan tersendiri dari
acara ini, dari sebuah budaya persembahan suku Dani, Lani, dan Yali. Suku Dani, suku yang membawa cerita dari
negeri di atas awan, Wamena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar