H1 : Sabtu,
10 Mei 2014
waktu menunjukkan pukul 17.00 wita ketika pesawat sriwijaya gw tiba di
bandara sultan hasanudin maros makasar. akhirnya, setelah bertahun tahun
lamanya gw hidup, sampe juga gw di pulau ini, Sulawesi, pulau celebes,pulaunya
para pelaut. meski sindrom pre travelling masih mendera, kram perut,
konstipasi, insomnia, anoreksia, nausea, and etc, gak dapat dipungkiri gw
terlalu bersemangat untuk travelling
kali ini. mungkin karena terlalu excited itu pula yang bikin gw kena sindrom
pre travelling.*haha
tak berselang lama, temen gw diah dari jakarta tiba di Bandara yg sama.
temen yang mau nekat untuk nginjakkin kaki nya pertama kali di celebes bareng
gw. "aaargh... diaaahh..."teriak
gw waktu liad diah dari kejauhan. dan kami pun langsung berpelukan macam teletubies
mengabaikan orang orang sekitar yang memperhatikan kami berdua. sudah 4 bulan
berselang semenjak terakhir kali kami bertemu, di bandara soekarno hatta, tak
disangka kami akan bertemu kembali di negeri antah berantah.
kami berdua pun langsung saling berbagi kabar, bercerita dengan
besemangatnya tentang apa yang akan kami hadapi nanti. kami pun seakan tak
terlalu peduli dengan apa yang harus kami lakukan segera untuk mendapatkan
transportasi menuju Baraka, suatu tempat di kabupaten Enrekang, tempat kami
bertemu Anto' dan Kamal yang akan menemani pendakian kami. kata Kamal,teman
Anto (anto pacar temen gw),"kalian
belum pernah ke masakar?ya udah,kalian diem di situ aja. ntar biar temen ku yg
dimakasar jemput kalian di bandara. biar dia juga yang nyariin transport ke
Baraka. namanya Salim. ini nomornya. kalian tunggu saja"kata Kamal
panjang lebar. dan kami pun hanya menurut. duduk manis di sebuah tempat makan
cepat saji yang tak jauh dari pintu kedatangan. Role no.1 : “Be
aware, and Enjoy It!”
Dua
orang lelaki berbadan kurus berpipi super tirus wajah khas Sulawesi mendekati
kami berdua. beradu pandang, dan saling menebak satu sama lain kemudiannya,”kak Salin ya?”Tanya gw,”tutut ya??”tanyanya berbalik, dan kami
berdua tersenyum. Tak disangka kami akan dijemput oleh orang tak dikenal di
makasar, lebih tak disangka lagi ketika kemudian kami dibawanya ke sebuah tenda
mirip tenda pengungsian dg cahaya remang-remang di suatu tempat di dekat
Terminal Daya. Namanya kakSalim, seorang aktivis buruh, bersama beberapa rekan
kerjanya sedang melakukan aksi mogok di depan sebuah pabrik meuble di daerah
Daya, sehingga kami pun ikut singgah di tenda aksi mereka, sembari beristirahat
dan mencari mobil carteran di terminal Daya sambil menunggu kedatangan satu
kawan kami,Afit, dari yogya yang baru tiba pada pukul 22.00 malam. Obrolan dan
perdebatan panjang pun berlangsung begitu cepatnya. Demo dan aksi bukanlah
sebuah cara penyampaian pendapat yang efektif, namun hal tersebutlah yang bisa
dilakukan para buruh untuk memperjuangkan hak-hak nya sebagai buruh ataupun
sebagai manusia. bukan hal mudah sebenarnya, tapi usaha tetap mereka
perjuangkan. Semangkok mie instan, sepotong telur kocok, dan seekor ikan goreng
mereka sajikan berbagi untuk santap malam kami berempat. Menu yang sederhana,
tapi terasa nikmat malam itu dalam remangan tenda bersama para buruh-buruh
pejuang.
tenda remang2, tongsis, dan kisah para buruh |
mobil carteran berhasil kami dapatkan malam itu dengan harga yang cukup bisa
dimaklumi. Rp550.000 untuk mengantarkan kami hingga sampai di Pasar
Baraka,Kec.Baraka kabupaten Enrekang. Bukan hal mudah untuk mendapatkan
transportasi di malam hari dari Makasar menuju Enrekang. Dari banyak
sumber,diketahui Makasar menuju enrekang bisa ditempuh dengan menggunakan bis
Makasar-Toraja (namun tak lewat kec.Baraka, hanya sampai di Cakke yang kemudian bisa dilanjutkan dengan naik
angkot/ojek menuju Baraka), atau menggunakan
mobil kijang/panther plat kuning jurusan enrekang yang bisa ditemui di Terminal
Daya. Dari daerah daya, kami menjemput kawan kami Afit di Bandara, dan
melanjutkan perjalanan menuju kec.Baraka, Kab Enrekang, sekitar 300km dari
makasar ke arah utara sekitar pukul 23.00 malam.
Afit
nampak lebih berisi dibanding waktu kami jumpai terakhir kali satu tahun yang
lalu. Tak menyangka kami akan bertemu kembali, setelah satu tahun terpisahkan
oleh ruang dan waktu *tsah. Tak disangka, perkenalan kami yang baru terjadi
setahun yang lalu pada pendakian bersama di rinjani, berlanjut pada pendakian
ini, pendakian puncak tertinggi Celebes,Latimojong. Masa lalu pun menjadi bahan yang hangat untuk
kembali diperbincangkan. Sudah satu tahun berlalu, tapi ingatan satu sama lain
akan cerita lama begitu lekat di kepala. Peristiwa yang lucu, hal yang
memalukan, hal yang tak mengenakkan, hal yang menyakitkan, hal-hal yang tak
disangka sebelumnya, semua kembali terceritakan. Mungkin ini yang akan terjadi,
dan akan selalu terjadi pada setiap orang yang kembali bertemu setelah sekian
lama terpisah, Membahas masa lalu. Masa lalu bukanlah hal yang buruk untuk
kembali dikenang. Masa lalu pun bukanlah hal yang tabu untuk kembali
diceritakan. Kita belajar dari masa lalu, kita menjadi lebih bijak dan dewasa
karena masa lalu. Masa lalu mungkin akan sedikit sakit untuk diingat, tapi gw
yakin, sesakit dan seburuk apapun hal yang terjadi di masa lalu, kita pasti
akan menertawakannya ketika itu sudah menjadi suatu kenangan masa lalu.
Mobil
panther carteran kami melaju kencang menembus gelapnya jalan raya antar kota.
Lagu-lagu pop Indonesia mengalun lembut dari kotak music mobil beradu dengan
suara angin yang berhembus kuat dari luar. Perbincangan tentang satu sama lain,
tentang masa lalu, tentang rencana perjalanan menemani perjalanan malam itu,
sesekali supir dan ayah si supir ikut nimbrung bercerita, dan berkelakar dengan
logat Sulawesi yang sering kali membuat kami tertawa. Perbedaan bahasa dan gaya
bicara terkadang menjadi hal konyol untuk ditertawakan. Cerita ayah supir
ketika tau gw dari papua.”ah.. orang
papua suka mop to.. sa ada cerita ini mi. jadi ceritanya ada orang manado ni
naik bus di papua. Baru orang manado ni liat jalan di papua berlubang-lubang,
orang manado berkomentar,”aih.. macam mana ini jalan berlubang-lubang,” baru
satu orang papua dengar, tra terima dorang pu tanah dikata-kata, dong angkat
bicara,”cukarme, masih mending to di papua jalan-jalan berlubang, daripada di
manado, lubang yang jalan-jalan..” hahaha…” si bapak tertawa keras, membuat
kami ikutan tertawa. Mop papua, yang sering membuat orang tertawa, kadang bukan
karena ceritanya, tapi logat yang dibawakannya. Fyyuuh. Malam terus
berlalu,mata yang berat untuk tetap terjaga, akhirnya terpejam. Sekitar pukul
02.00 dini hari kami tiba di satu tempat persinggahan RM Arini Surabaya, di
daerah Jalange Malusetasi Kabupaten Barru, menyempatkan makan malam dengan menu
penyetan dari jawa (yah, jauh-jauh ke Sulawesi makannya makan jawa juga) dan kembali
melanjutkan perjalanan. Sahrul sang supir yang masih berusia pertengahan
20tahunan terus mengemudikan mobilnya layaknya seorang pembalap. Jalanan yang
berliku dan naik turun dengan sisi tebing dan jurang saat memasuki wilayah
enrekang pun tak dipedulikannya. Membuat malam awal di Sulawesi menjadi begitu
cepat berlalu.
tongsisan di warung makan yang bikin orang2 terus merhatiin kami |
Tepat
ketika adzan subuh berkumandang kami tiba di Kecamatan Baraka. Sahrul, sang
supir menurunkan kami di sebuah masjid besar yang nampak lebih ramai dibanding
rumah-rumah di sekitarnya. Subuh, dan langkah-langkah pelan dari manusia
berbadan bungkuk dan berkulit keriput menjadi pertanyaan tersendiri bagiku,
kenapa masjid dan subuh hanya diramaikan oleh mereka yang sudah berusia dan
berbadan rentan. Dimana manusia-manusia muda lagi gagah perkasa itu berada?, angin itu menjawab berbisik,”mereka masih sibuk dengan kehidupan dunia
mereka.” dan gw pun tersenyum,”dan di
sinilah gw berada……..aku, kami, mereka” (250514.16.14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar