Celebes pu Cerita (3): Enrekang - New Friends
New Adventure
H2 : Minggu,
11 Mei 2014
Cahaya matahari perlahan menyeruak menerangi langit
Baraka pagi itu hingga Terlihat jelas bebukitan
mengelilingi seluruh penjuru Baraka. Aah, udara pegunungan yang sejuk
dan damai. Sambil menunggu kedatangan kawan dari Palopo, kami sempatkan waktu
untuk sejenak menikmati pagi yang cerah *dan semoga cerah untuk hari-hari
berikutnya. Tak lama berselang, beberapa motor bersuara nyaring tiba memasuki
halaman masjid tempat kami beristirahat. Gw, afit, dan diah berpandangan satu
sama lain. muka-muka asing beringasan
yang nampak seperti satu kelompok geng motor mendekat. Gw amatin satu persatu
wajah, dan tersenyum mendapati satu wajah yang nampak pernah kukenal,”wa…. Akhiirrrnyyaaa..” sambut gw
sambil menjulurkan tangan. kakAnto namanya, pacar temen gw, yang sempat gw
kenal 6 bulan yang lalu, yang dari dirinyalah kami mendapatkan koneksi kawan
untuk menemani kami mendaki. Kamal, Awall, bocor/adhi, aidil, sere, rendi, dan
yusar adalah 7 orang lainnya yang menemaninya berkendara selama 4 jam dari palopo. “looh, katanya cuman berenam?ini , satu, dua ,tiga, empat, lima, enam,
tujuh, delapan??? Gila, banyak banget,maen kroyokan ya??’ kata gw kaget
dengan keberadaan banyak laki-laki ini. kak Anto hanya tersenyum. Delapan orang
kawanan lelaki yang akan menemani kami mendaki mencapai puncak Latimojong,
dengan muka-muka yang nampak beringas (kesan awal), tua (masih kesan awal), dan
menakutkan (hanya kesan awal). when something trouble.... (left) istirahat dulu ditengah jalan *teteup sambil tongsisan (right) |
ciripa and k'Anto' |
Setelah
cukup beristirahat, kami pun mendiskusikan tentang rencana perjalanan. Awal dan
Kamal yang sudah terbiasa mendaki, dan beberapa kali mendaki latimojong menjadi
Team Leader bagi perjalanan kami. Kebutuhan logistic
kami penuhi di sini, dari Pasar Baraka, dengan budget sekitar 250.000 untuk
persediaan makan selama 4 hari pendakian. Satu yang kemudian jadi pelajaran
buat kami semua adalah tentang menghitung
kebutuhan logistik pendakian. Role no.2 Logika tanpa Logistik itu Omong Kosong. satu hal yang someday gw harap bisa gw
perbaiki dalam pendakian gw yang berikutnya (kapan ya bisa naek gunung
lagi??hmmm).
pasar baraka |
Menyelesaikan kelengkapan kebutuhan logistik, kami melanjutkan
perjalanan menuju basecamp pendakian, di Desa Karangan, Kecamatan Buntu Batu,
Kab. Enrekang. Perjalanan yang awalnya membuat gw, dan diah tercengang, dan
kemudian tak henti-hentinya tertawa terpingkal hingga habis air mata. Bagaimana
tidak, dengan 5 motor 11 orang, yang itu berarti satu motor untuk bonti
(bonceng tiga) kami harus berkendara melalui medan yang luarrrr biasa binasa.
Waktu gw Tanya ke Awall (namanya Awaludin, dipanggil Awall), “kalian pernah motoran ke Karangan?”,
dan mereka semua menggeleng. ini baru pertama kalinya pula mereka mencoba
bermotoran menuju desa Karangan. Jalannya pun Awal ataupun Kamal tidak
sepenuhnya ingat. Hal yang membuat kami sempat salah jalan hingga 10kilometer
jauhnya. Memang akses menuju Desa Karangan, titik awal pendakian, memang masih
sulit dijangkau. Pada umumnya, pendaki memilih hari pasar (hari senin dan
kamis), untuk melakukan perjalanan dari Baraka menuju Karangan dengan
menggunakan mobil atau hardtop yang membawa barang dagangan dari pasar Baraka,
dengan biaya sekitar Rp.30.000 perkepala. Kendaraan tersebut pun hanya sampai
di desa Rante Lemo, 5km sebelum Desa Karangan. Dari Rante Lemo baru dilanjutkan
perjalanan kaki selama 2 – 3 jam an. Terkadang mobil hardtop yang digunakan
hanya sampai di desa-desa yang jauh
sebelum Rante Lemo, tergantung keadaan cuaca dan medan yang memang masih berupa
tanah berlumpur. Hal inilah yang membuat
Kamal, Awal dan teman2 palopo tertantang untuk membawa motor hingga desa
Karangan. Gw, diah, dan afit hanya saling berpandangan, mau gak mau harus siyap
dengan apapun yang terjadi. Gw, diah, dan kamal menjadi tiga orang yang
berbonceng dalam satu motor, mengalah mengingat ukuran badan yang ‘masih
kecil2’. Gw dan diah pun tak bisa menahan gelak tawa, lantaran sesekali harus
terloncat dari dudukan motor yang terasa sempit. Tawa kami semakin menjadi
ketika mengetahui afit dengan kerilnya yang besar nyaris terlempar dari motor
‘rangka’ Aidil, lantaran tarikan gas Aidil yang sekejap tiba-tiba dan kencang
yang membuat afit terkaget. Motor yang mereka gunakan pun motor-motor yang
sudah banyak dibongkar modif sana-sani, tak ada plat motor, tak berbodi, dan
hanya bersisa rangka saja *oh, sungguh menakutkan.
jalan aspal menjadi permulaan perjalanan kami pagi itu. tapi
hal itu tak berlangsung lama. dari jalan aspal, jalan berubah menjadi jalanan
semen yang sempit. dari jalanan semen, berubah menjadi jalanan setapak yang
berlumpur. mulai dari memasui wilayah desa latimojong, jalan aspal tipis yang
sesekali mengisi jalan, itupun sudah mulai nampak rusak parah. cuaca yang
mendung dan gerimis di tengah perjalanan membuat medan menjadi semakin
menantang. jalan lumpur menjadi semakin licin dan sulit untuk ditembus. rendi,
yang dikemudian hari kami panggil sbg "adek kecil / si kecil" karena
masih kelas 2SMK, yang baru pertama kalinya ikut pendakian dan mengendarai
motor hingga sejauh ini, berkali kali terjatuh dlam kubangn dan nyaris masuk
jurang karena kurang lihai mengendarai motor. yang lainnya hanya bisa tertawa
dan terbahak melihat kejadian malang yang menimpa adek kecil. hal serupa pun
tak luput dari motor yañg lainnya, kandas di tengah lumpur, tak kuat naik
tanjakan, dan mogok di tengah jalan. dan
kami pun kembali tertawa. sesekali mengabadikan hal-hal yang mungkin jarang
terjadi dikehidupan kami sehari hari. gw, diah pun sering berteriak setiap kali
kamal memanuverkan motornya untuk menghindari lubang, kubangan, dan hambatan di
tengah jalan. "waa... .. stop, stop
Mal... gw turun gw turun" teriak diah setiap motor hendak menaiki
tanjakan licin. diah begitu takut untuk terjatuh dari motor yang sering kali
oleng. gw cuman menahan perut tertawa. "tenang
Di.. tenang.. lo harus percaya ama Kamal" kata gw yang memilih untuk
bertahan di atas motor. dan ternyata benar, motor tak kuat untuk sampai di atas
tanjakan dan kami pun harus berkali kali turun dri motor dan berjalan hingga
jalan dirasa sudah cukup bagus untuk dikendarai secara bonti.
mendekati desa
angin-angin hingga rante lemo, jalan menjadi semakin parah dan kami para
pembonceng, menjadi lebih sering berjalan kaki ketimbang berada di atas
kendaraan. "kalo itu namanya jalur
merah. lebih pendek tapi medannya lebih seram karena tanah merah,apa lagi hujan
begini lebih licin"kata Awall sambil menunjuk pada jalanan berkelok
naik turun bukit yang nampak jelas seperti garis merah di atas desa
angin-angin. gw cuman mengangguk. jalan yang begini aja udah jatuh bangun
apalagi jalur merah. gw,Diah, Awall,Yusar kembali berjalan menyusuri turunan
yang becek, saat Kamal, Bocor, dan Adek kecil tengah sibuk bergumal dg motor2
masing2 padalumpur lumpur yang mengkandaskan motor mereka. di tengah jalanan yang padat lumpur kami
berpapasan dengan tiga buah motor dari aarah berlawanan yang juga tengah baku
dorong untuk mengeluarkan motor yang tertanam dalam di lumpur.
Sekitar
pukul 14.15 siang kami tiba di Rantelemo. Sedikit menghela nafas setelah hampir
4 jam berkendara. Mengisi bensin pada tangki tangki motor yang mulai kering,
sekaligus membasahi kerongkongan yang kering karena dahaga. Aliran sungai
terdengar deras mengalir diseberang dekat tempat kami beristirahat. “waaa.. ada sungai ya!! wuiii, airnya
jerniih..”kata gw begitu mengagumi aliran air disela-sela banyak bebatuan
besar. udara di RanteLemo terasa lebih sejuk dibanding di Baraka. Mungkin
karena kami posisi Rantelemo yang lebih tinggi dbanding Baraka kali ya, pun
jarang ada kendaraan yang melintas. Gw hirup udara dalam,dalam,tempat ini
benar-benar kaya. Sepanjang perjalanan dari Baraka, berbagai macam perkebunan
kami jumpai di kanan kiri jalan. Kebun dari beraneka ragam sayur, cabai,
tomat,bebawangan, tanaman-tanaman hias, kebun kopi, kebun coklat, dan berkali-kali
menemukan banyak pohon durian!!! (*sukadurian).
left : rantelemo. right : waktu dah masuk dusun karangan |
dari
Rantelemo, kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di Desa Karangan, Kec Buntu
Batu,kab.Enrekang. medan yang ditempuh tidaklah sesulit dari yang sebelumnya,
karena jalan lebih didominasi dengan bebatuan. Namun tetap saja, bagi kami yang
bonti (bonceng tiga), gw, diah, kamal, dengan motor Suzuki kamal yang sudah
‘cukup berumur’, kami selalu gagal untuk mencapai tanjakan. Ditambah lagi
tanjakan tanjakan dari Rante lemo menuju Baraka lumayan curam dan sempit. “aaah.. stop… stop… gw turun dulu” teriak
diah setengah ketakutan, ketika motor Kamal gagal menaiki tanjakan, dan malah
berhenti di jalan dan berjalan mundur. Diah dan gw pun kembali berjalan kaki. “hooosh…. Hosssh…lumayan juga…”kata gw
sambil terengah. Motor-motor yang lain sudah berlalu di depan meninggalkan
kami. diah yang berjalan di belakang gw juga nampak kelelahan.”ayo Di.. semangat!! pemanasan sebelum
pendakian niiih” kata gw ke diah yang hanya disambut senyum oleh nya.”iyah… wa, parah nie gw dah lama gak gerak.
Udah ngos-ngosan” kata diah sembari menghentikan langkah, menghela nafas
karena lelah. Gak bisa gw bayangin gimana para pendaki-pendaki latimojong yang
memulai langkah kakinya dari rantelemo “maaak.. jauh amat ye…. 5 km cuy
rantelemo-karangan, hmmm…”
Tepat
pukul 15.30 wita, kami tiba di desa Karangan. Kami pun langsung singgah di
rumah bapak kepala desa Karangan, yang sekaligus menjadi basecamp kami untuk
beristirahat malam itu. Kebetulan bapak kepala desa pak Sinu tengah turun kota,
beruntung kami sempat berpapasan di tengah jalan menuju karangan, sehingga kami
sempat meminta ijin untuk tinggal di rumahnya. Sore hari, gw dan diah,
berkeliling kampung mencari bahan makanan tambahan untuk pendakian sekaligus
untuk menu makan malam dan sarapan esok paginya. Satu yang sempat kami lupa
sebelumnya adalah berbelanja bama-bama segar seperti sayur sewaktu di Baraka
ataupun di Rantelemo, sehingga terpaksa kami harus mencari-cari di desa
Karangan. Sebenarnya desa Karangan hanyalah sebuah desa kecil disebuah lembah
yang dikeliling bukit-bukit di keempat penjurunya, yang hanya dihuni oleh
beberapa kepala keluarga. Hampir sebagian besar bangunan rumahnya berupa rumah
panggung yang terbuat dari papan, dengan lantai rumah yang minimal berada
diketinggian 3meter di atas tanah. Unik… kata diah,”gw perhatiin semua rumah di sini gak ada yang nempel di tanah ya… emang
kenapa ya??”kata diah bertanya-tanya. Gw sendiri,gak ngerti jawabannya.
at basecamp, rumah pak dusun ds.Karangan |
Masyarakat
desa Karangan sebenarnya adalah masyarakat yang ramah, hanya saja mungkin bukan
hal yang lumrah untuk saling menyapa dengan orang asing. Beda dengan di tempat
gw,diPapua, meskipun orang asing, ketika bertemu, mereka pasti saling sapa dan
berbagi senyum. Di desa Karangan, mereka masih nampak ‘waspada’ terhadap
pendatang. Tapi gw suka dengan anak-anak di desa Karangan, anak-anak yang
nampak ‘amaze’ dengan keberadaan kami berdua (apa yang salah dari kostum kami ya??haha). anak-anak yang dengan
baik hatinya mau membantu gw dan diah selama kami di Karangan.“Di, kita cari telur yuk buat makan malam”kata
gw ke diah dan langsung disetujui diah. Gak banyak warung kelontong di
Karangan. Ada pun, yang dijual juga seadanya. Sehingga sangat disarankan untuk
benar-benar menyiapkan logistik sedari berada di Baraka. “adek, di sini toko kelontong yang jual telur dimana ya?’tanya gw
pada segerombolan anak kecil yang sedang bermain di tengah lapangan badminton.”di sana.. dirumahnya…”tunjuk seorang
anak kecil pada satu arah. Gw dan diah beradu pandang. Disana dimana? Semua
rumah nampak sama.”dimana ya?’tanya
gw kebingungan.”bisa antar?’pinta gw
pada salah seorang, yang langsung dijawab dengan anggukan. Anak itu, beserta
teman-teman lainnya langsung mengantarkan kami ke tempat yang
dimaksud.sayang,setiba ditempat yang dituju, kami tak menemukan telur ayam yang
kami maksud. “ada tempat lain gak adek
yang jual telur?”Tanya gw lagi, dan kembali mereka mengantarkan kami ke
penjual kelontong lainnya. Kali ini, kami mendapatkan telur yang kami maksud.
Gw pun langsung bergumam,”enaknya dikocok
pake bawang ama daun bawang gak sih Di?’tanya gw ke diah. Gw dan diah pun
berpikir, berdiskusi. Kembali menanyakan pada anak-anak kecil yang masih
mengerubungi kami dimana ada yang jual bawang, daun bawang, dan sayur-sayuran
segar. Namun anak-anak hanya menggeleng, di sana tak ada yang menjual sayuran
segar. “ada kakak…. Tapi di kebun, biasa
kami ambil sayur di kebun..” kata seorang anak. wajar juga kalo gak ad yang
jual sayur, wong semuanya pekebun, kalo mo makan sayur ya tinggal cabut dari
kebun masing-masing. “ah, sayang ya… gak
ada daun bawanng..” gumam gw pada diah. Masih berpikir tentang menu untuk
malam itu. Tiba-tiba seorang anak muncul dari kejauhan membawakan kami
segenggam besar daun bawang.”kakak… ini
ada daun bawang, saya ambil dari rumah buat kakak”kata seorang anak itu. Gw
tersenyum ceraaah, girang,”wa… banyak
sekali.. buat kakak boleh kaaah??makasih sekali ya sayangg”gw dan diah
cuman tersenyum, anak-anak yang baik. Senang mendapatkan daun bawang, gw
berharap untuk mendapatkan sayur apapun itu, sebagai pelengkapnya. “Adek kalo di sini biasanya makannya apa?”Tanya
gw penasaran dengan sayur yang biasa mereka konsumsi sehari-hari, berharap
siapa tau ada yang mo dengan baik hatinya lagi ngasih kita sayur. “buncis kakak… “jawab seseorang, yang
lainnya ikut sahut menyahut menyebut nama sayur sayur yang mereka biasa makan,
tapi tak satupun yang gw kenal, selain buncis yang mereka sebutkan. Banyak juga
yang mengatakan bahwa sayuran adanya di kebun, jauh dari rumah. “Di.. gimana?mau gak makan buncis?” diah
menggeleng. “hm… apa ya kalo gitu…”
gw perhatiin tanaman-tanaman yang tumbuh disekitar situ. Banyak sekali tanaman
yang tumbuh tapi diperhatikan hanyalah tanaman
hias, ada sayur pun sayur tomat dan cabe. “kami biasa makan ini kakak..”kata seseornag lagi sambil menunjuk
rimbunan daun bayam. Muka gw pun seketika berubah makin cerah,”wa…. Bayaaam…. Punya siapa kaaah??’tanya
gw berharap bisa dapet beberapa lembar daun bayam. “punya saya kakak..”kata seorang lagi. “kitong boleh minta kaah??’ pinta gw. dan dirinya pun tersenyum
mengangguk. Dicabutnya beberapa daun bayam, dan teman-teman lainnya pun ikut
serta membantu mencabutkan daun bayam untuk kami berdua, dan dalam sekejap,
kantong plastic tempat telur kami dipenuhi oleh banyaknya daun bayam. Gw dan
diah pun langsung berterima kasih dengan kebaikan hati anak-anak ini. suka
lihat senyum mereka, suka lihat tawa mereka, sederhana, tapi bikin hati
bahagia.
nyari sayur |
“anak-anak itu
layaknya ulat dalam kepompong yang suatu ketika akan menjadi kupu-kupu yang
terbang cantik mewarnai dunia. Anak-anak itu mungkin hanya seperti secarik
kertas putih yang polos, beri krayon warna-warni dan dia bisa menjadi satu
lukisan yang menceritakan indahnya dunia” –dee,2014
Malam
itu, menu nasi hangat, telur kocok, dan sayur bayam menjadi menu pertama kami,
di Desa Karangan. Menu yang sederhana, namun penuh rasa. (250514.20.37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar